Relefansi Pemikiran Ibnu Taimiyah Dengan Konsep Kekinian
(1263 M/661 H – 1328 M/728 H)
Abdul Hamid Syarif
Download Link klik Disini aja
Islam adalah
agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah (dinamis).
Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama-agama
sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat
aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala
bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang
mengatur tentang pasar dan mekanismenya.
Melihat pentingnya pasar dalam Islam bahkan menjadi kegiatan yang
terakreditasi serta berbagai problem yang terjadi seputar berjalannya mekanisme
pasar dan pengendalian harga, maka pembahasan tentang tema ini menjadi sangat
menarik dan urgen.
Jauh sebelum
pemikiran ekonomi para ahli tentang konsep harga seperti: Aquinas, Adam Smith,
atau Maknus, dunia Islam telah lebih awal mempunyai tokoh yang concern di
bidang ini. Ialah Ibnu Taimiyah, seorang ulama terkenal dunia Islam. Tulisan
ini akan mencoba mengkomparasi beberapa pemikirannya tentang konsep harga
dengan konsep ekonomi modern dalam bidang yang serupa.
Riwayat Hidup
Ibnu
Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin
Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10
Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah,
paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah
buku. [1][1]
Karena
kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih sangat muda
telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih,
matematika, dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara
teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya
adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan
Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika
berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya,
Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia
juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah
memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan
kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi
berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan
Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika
kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan
urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya
terbatas pada kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup
keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan
yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah
membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya.
Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa
tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak
pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut
haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis
dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan
pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qo’dah 728 H) setelah mengalami
perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
Pemikiran Ekonomi
Pemikiran Ibnu
Taimiyah banya diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah
asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil,
Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
a. Harga yang
Adil
Konsep harga yang adil pada hakekatnya
telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Alquran sendiri sangat
menekankan kedilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia.oleh karena itu,
adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar,
khususnya harga. Barkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba
sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga yang adil juga telah disebutkan dalam bebarapa hadits
nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang
majikan yang membebaskan budaknya. Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah
ada sejak awal kehadiran islam, Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali
menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan
dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang
setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia menyatakan, “kompensasi yang setara akan
diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs
Al-adl) di tempat lain, ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang
tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah
menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia
menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama
dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl).persoalan
tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh
al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hokum.
Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut. [2][2]
(a). Ketika seseorang harus bertanggung jawab
karena membahayakan orang lain atau merusak harta atau keuntungan.
(b). Ketika seseorang mempunyai kewajiban
untuk membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau
membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian oran g. prinsip umum yang sama
berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban finansial lainnya.
Misalnya:
(a). Hadiah yang diberikan oleh Gubernur
kepada orang-orang muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
(b). Kompensasi oleh agen bisnis yang menjadi
wakil unuk melakukan pembayaran kompensasi.
Dalam
mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari
objek khusus dimaksud, dalam pemakaian yang umum(urf). Hal ini juga terkait
dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah), lebih jauh, ia mengemukakan
bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi
dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu
Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu harga
yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari
sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia
menyatakan .
“sering kali terjadi ambiguitas dikalangan
para fuquha dan mereka saling berdebat tentang karakteristikdari suatu harga
yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas
(miqdar).
Tentang
perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan,
“Jumlah yang tertera dalam suatu akad ada dua macam. Pertama,jumlah yang telah
dikenal baik dikalangan masyarakat. Jenis ini telah dapat diterima secara
umum.kedua, jenis yang tidak lazim sebagai akibat dari adanya peningkatan atau
penurunan kemauan(righbah) atau faktor lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai
harga yang setara.
Tampak
jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa
kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat
bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu
bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi
oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berbeda halnya dengan konsep
kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi
harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam mendefinisikan
hal ini, ia menyatakan :
“Harga yang setara adalah harga standar yang berlaku
ketika masyarakat menjual barang-barang dagangnnya dan secara umum dapat
diterima sebagai sesuatu yang setara barang-barang tersebut atau barang-barang
yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.
Ibnu
Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harya yang dibentuk oleh
kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan
permintaan dengan penawaran. Ia menggambarkan perubahan harga sebagai barikut :
“Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal
(al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil kemudian harga
tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni penurunan
supply)atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni peningkatan demand)
kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah swt, dalam kasus ini,
memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga tertentu adalah pemakasaan yang salah (ikrah bi ghairi
haq)
.
b. Mekanisme Pasar
Ibnu
Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu
pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia
menyatakan,
“Naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh
kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh
kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh
karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di
sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dsan permintaan terhadapnya
menurun, harga pun turun,kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh
tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak
mengandung kezaliman, atau tenkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman.
Hai ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan dihati
manusia.
Ibnu
Taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta
konsekuensinya terhadap harga, yaitu: [3][3]
1. Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap
berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Perubahan ini
sesuai dengan langka atau tidaknya barang-barang yagn dimint. Semakin sedikit
jumlah suatu barang yang tersedia akan semakin diminati oleh masyarakat.
2. Jumlah para peminat terhadap suatu barang.
Jika jumlah masyarakat yang menginginkan suatu barang semakin banyak, harga
barang tersebut akan semakin meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
3. Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap
suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan. Apabila
kebutuhan besar dan kuat, harga akan naik. Sebaliknya, jika kebutuhan kecil dan
lemah, harga akan turun.
4. Kualitas pembeli. Jika pembeli adalah
seseorang yang kaya dan terpercaya dalam membayar utang, harga yang diberikan
lebih rendah. Sebaliknya, harga yang diberikan lebih tinggi jika pembeli adalah
seorang yang sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran utang serta
mengingkari utang.
5. Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
Harga akan lebih rendah jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang yang
umum dipakai daripada uang yang jarang dipakai.
6. Tujuan transaksi yang menghendaki adanya
kepemilikan resiprokal diantara kedua belah pihak. Harga suatu barang yang
telah tersedia dipasaran lebih rendah daripada harga suatu barang yagn belum
ada dipasaran. Begitu pula halnya harga akan lebih rendah jika pembayaran
dilakukan secara tunai daripada pembayaran dilakukan secara angsuran.
7. Besar kecilnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh produsen atau penjual. Semakin besar biaya yang dibutuhkan
oleh produsen atau penjual untuk menghasilkan atau memperoleh barang akan
semakin tinggi pula harga yang diberikan, dan begitu pula sebaliknya.
b. Regulasi
Harga
Tujuan regulasi harga adalah untuk
menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis
penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacar hokum serta penetapan harga yang
adil dan sah menurut hokum. Penerapan harga yang tidak adil dan cacat hokum
adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi
akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
secara
khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur
nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,
“Atsaman dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang
dapat diketahui dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu
Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti
mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya.
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu
Taimiyah menentang keras terjadinya penerunan nilai mata uang dan pencetakan
mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan,
“penguasa seharusnya mencetak fulus sesuai
dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa
menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
c. Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata Uang yang
baik
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata
uang yang berkualitas baik dari peredaraan. Ia menggambarkan hal ini sebagai
berikut, [4][4]
”Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang
tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan
merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi
hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan
nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih dari pada itu, apabila nilai
intristik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber
keuntungan bagi penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan
menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya
kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk didaerah tersebut
untuk dibawa kembali kedaerahnya. Dengan
demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Analisis dan Relefansi Pemikiran Ibnu Taimiyah Dengan
Konsep Sekarang
Dalam
menangani kebijakan moneter, Ibnu Taimiyah telah memberikan kontribusi
pemikirannya dengan konsep kesetaraan/keadilan. Keadaan yang memicu saat
terjadinya moneter membuat keuangan Negara tidak stabil. Sama halnya dengan
konsep yang terjadi sekarang, seketika harga dapat melonjak naik dan terkadang
turun, aktivitas ekonomipun sudah cukup banyak, dan tentu tingkat terjadinya
fluktuasi juga semakin tinggi.
1. Mekanisme
Pasar
Pada
prinsipnya mekanisme pasar diartikan bahwa harga bergerak bebas sesuai hukum
permintaan dan penawaran (supply and demand). Jika supply lebih besar dari
demand, maka harga akan cenderung rendah. Begitupun jika demand lebih tinggi
sementara supply terbatas, maka harga akan cenderung mengalami peningkatan.
Dalam
implementasi sehari-hari belum bisa dipastikan kegiatan yang terbentuk di pasar
apakah memang berjalan sesuai dengan mekanisme pasar yang wajar, tidak ada
unsur intervensi, tidak ada unsur permainan oleh sekelompok kekuatan tertentu
yang membentuk kartel dan sebagainya. Dalam pasar bebas misalnya, terkadang ada
terjadinya saham yang diperdagangkan dengan perubahan harga yang cukup wajar.
Wajar disini berarti fluktuasi harga yang terjadi berlangsung secara normal,
tidak ekstrem. Tapi terkadang juga sering memperlihatkan ada saja saham-saham
yang harganya bergerak secara ekstrem, naik secara mencolok atau turun secara
drastis.
Fakta di
pasar memang seringkali menunjukkan ada beberapa saham yang mencatat kenaikan
harga sangat pesat tanpa didukung oleh informasi yang memadai. Kenaikan harga
dapat mencapai di atas 50 % bahkan sampai melebihi 100 % hanya dalam waktu
beberapa hari, kurang dari satu bulan. Kenaikan harga 50-100 % dalam tempo
kurang dari satu bulan, tentu merupakan keuntungan yang menawan dan
menggiurkan.[5][5]
Memahami
mekanisme pasar pada aktifitas jual beli saham di pasar modal ini bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan
kejelian dan kepekaan tinggi untuk melihat mana saham yang memang bergerak
berdasarkan mekanisme pasar dan mana saham yang bergerak di luar mekanisme
pasar. Disebut bergerak di luar mekanisme pasar karena fakta menunjukkan memang
ada saham-saham tertentu yang pergerakannya dikendalikan oleh satu kekuatan
tertentu meskipun hal itu sulit dibuktikan.
Saham
seperti inilah yang harus diwaspadai oleh investor. Bursa Efek Indonesia (BEI)
selaku pengawas pasar tidak mungkin mengambil tindakan karena kenaikan harga
saham tadi berlangsung dalam koridor pasar. Artinya, tidak ada aturan pasar
yang dilanggar. Karena itu investor harus ekstra hati-hati melihat kenaikan
harga saham yang tidak didukung oleh fakta material.
2. Regulasi Harga
Sejak awal tahun 2010 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
telah mengingatkan bahwa tingginya harga sembako tidak boleh dibiarkan karena
semakin memberatkan masyarakat, baik konsumen rumah tangga maupun Usaha Kebi
dan Menengah (UKM). Harga sembako sejak awal tahun ini di lapangan tercatat, harga telur
ayam, cabal merah, beras, dan gula tetap bertahan tinggi seperti akhir tahun
lalu. Harga telur ayam rata-rata bertahan di level Rp. l5.500 per kilogram.
Sementara beras kualitas medium rata-rata Rp. 5000 per kilogram, dan gula pasir
rata-rata bertahan pada harga Rp
l4.000 per kilogram. Dibanding sebelumnya, harga beras dan gula pasir ini
rata-rata naik Rp. l.000 sampai Rp. 2.000 per kilogram. Kenyataan tersebut bukan
hanya ditemukan di pasar-pasar tradisional berbagai daerah di Jawa, melainkan
juga di Lampung dan Sumbar. YLKI ketika itu mengingatkan bahwa pemerintah harus
mengambil langkah cepat menangani kenaikan harga kebutuhan pokok ini
Melihat kondisi tersebut, Ada baiknya pemerintah mendengar berbagai
saran maupun hasil kajian yang disampaikan banyak pengamat berkaitan dengan
kerap terjadinya gejolak harga sembako yang berulangkali terjadi. Seiring
dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, jika terjadinya ketidak stabilan
harga dimana suatu komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya
manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan
monopoli, maka pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan
pembeli.
Kebijakan
impor selama ini terbukti hanya menyelesaikan masalah sesaat. Dibutuhkan solusi
jangka panjang untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan
impor terbukti menciptakan ketidakstabilan harga kebutuhan pokok. Pemenuhan
target produksi dan pembenahan disisi jalur distribusi seharusnya menjadi
prioritas pemerintahan saat ini. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk
mempercepat peningkatan produksi dan pembenahan pasar domestik dibanding
pemberian subsidi langsung untuk operasi pasar atau pasar murah.
Langkah
tersebut diperlukan agar seluruh barang kebutuhan pokok bisa terpenuhi dari
produksi dalam negeri. Dengan demikian, harga yang terjadi pastinya lebih
stabil dan terjangkau oleh masyarakat, khususnya rakyat miskin yang tingkat
perekonomiannya rendah.
3. Kebijakan
Moneter
Pada
dasarnya, suatu kebijakan akan muncul apabila telah terjadinya suatu gejala
yang dirasakan. Terjadinya infalasi misalnya, pada masa Ibnu Taimiyah inflasi
timbul Karena adanya peredaran mata uang yang tidak seimbang, yaitu dengan
pencetakan fulus yang nilai nominalnya tidak seimbang dengan kandungan logam,
sehingga apabila dibelanjakan untuk emas dan perak, maupun barang-barang
berharga lainnya, nilai mata uang tersebut menjadi menurun, dan akhirnya timbul
inflasi. Sikap yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah menurut Ibnu Taimiyah
adalah pencatakan fulus harus didasarkan pada keseimbangan volume fulus dengan
proporsi jumlah transaksi yang terjadi, sehingga dapat terciptanya harga yang
adil. Kemudian terhadap uang yang telah beredar dimasyarakat disarankan untuk
tidak membatalkannya, bahkan Ibnu Taimiyah menyarankan untuk mencetak uang
sesuai dengan nilai riilnya.
Pada keadaan
sekarang timbulnya Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan
permintaan atau desakan biaya produksi. Inflasi tarikan permintaan terjadi
akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada
tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan
bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan
terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi
meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan
total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment.
Inflasi desakan biaya terjadi akibat meningkatnya biaya produksi sehingga
mengakibatkan harga produk-produk yang dihasilkan ikut naik. Untuk
menanggulangi Inflasi tersebut maka Bank Sentral diberikan wewenang khusus oleh
pemerintah. Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan
tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa Bank Sentral bahkan memiliki
kewenangan yang independen, dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh
diintervensi oleh pihak di luar Bank Sentral, termasuk pemerintah. Hal ini
disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa Bank Sentral yang kurang
independen, salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan
menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian, sehingga dari
intervensi tersebut akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.
Bank Sentral
umumnya mengandalikan jumlah uang beredar atau tingkat suku bunga sebagai
instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, Bank Sentral juga berkewajiban
mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini disebabkan karena
nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat
inflasi) maupun eksternal (kurs), yang mana saat ini pola inflation targeting
banyak diterapkan oleh Bank Sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank
Indonesia.
Kesimpulan
· Dari pemaparan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa ulama-ulama klasik Islam telah tidak hanya berkutat pada agama
dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah menaruh perhatian pada
masalah perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan teori-teori ekonomi
konvensional modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran mereka (Islam).
Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency)
berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas
buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata
uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak. Fungsi utama uang
hanya sebagai alat tukar dalam transaksi (medium of exchange for transaction)
dan sebagai satuan nilai (unit of account). Semua kebijakan tentang uang yang
dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat (maslahat).
Pencetakan uang yang tidak didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang,
karena hanya akan meningkatkan inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Penimbunan uang dilarang, karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang
berdampak pada turunnya jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk.
Peleburan uang logam dilarang, karena akan mengurangi pasokan uang secara
permanent yang berdampak pada kenaikan harga-harga produk. Ibn Taimiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat
yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran. Dari sini kita dapat melihat bahwa Ibn
Taimiyah mempunyai pemikiran yang mendalam terkait dengan ekonomi
(syariah). Ibnu
Taimiyah tampaknya merupakan orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus
terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan
dengan harga, sering kali mengunakan dua istilah, yakni kompensasi yang setara
(‘iwadh
al-mistl) dan harga yang setara (tsman al-mistl). Mengenai
Regulasi harga, Ibn Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni
penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil
dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah
penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat
persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan suplly atau kenaikan demand. Di pasar,
masyarakat memiliki kebebasan sepenuhnya untuk masuk atau keluar pasar. Ibn Taimiyah
mendukung peniadaan berbagai unsur monopolistik dari pasar dan, oleh karenanya,
menentang segala bentuk kolusi yang terjadi di antara sekelompok pedagang dan
pembeli atau pihak-pihak tertentu lainnya. Ia menekankan perlunya pengetahuan
tentang pasar dan barang-barang dagangan, seperti transaksi jual beli yang
bergantung pada kesempatan yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman. Ibn Taimiyah
mengutuk pemalsuan produk serta kecurangan dan penipuan dalam beriklan dan di
saat yang bersamaan, mendukung homogenitas dan standarisasi produk. Ia memiliki
konsep yang jelas tentang perilaku yang baik dan pasar yang tertib, dengan
pengetahuan, kejujuran, aturan main yang adil, serta kebebasan memilih sebagai
unsur-unsur dasar.
Namun, ketika dalam keadaan darurat, seperti terjadi bencana
kelaparan, Ibn Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan
penetapan harga serta memaksa para pedagang untuk menjual barang-barang
kebutuhan dasar, seperti bahan makanan.
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Islahi, 1988, Economic concepts of Ibn Taimiyah, London: the Islamic Foundation.
A.A. Islahi, 1997, Konsep
Ekonomi Ibn Taimiyah, Cet 1, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset,.
Abdul Azim Islahi, Economic Copncept Of Ibn Taimiyah,Longman Malaysia,
1992
Azwar karim, Adiwarman, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2006, Ed. 3 Islamic Economics Research Centre
www.kau.edu.sa/Files/320/Researches/50924_21061.pdf
http://islamiccenter.kau.edu.sa/english/index.htm Januari 2013
Azwar, Adiwarman. 2001. Ekonimi Islam suatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
(Arab) Abu Ubaid. Al-Amwal (226).
Dalam: Al-Maktabah asy-Syamilah [Internet]. [Tempat tidak diketahui]: Muassasah
al-Maktabah asy-Syamilah; c2005‒2011 [diakses Desrmber 2012]. Tersedia dari: http://shamela.ws/browse.php/book-12999/page-225
Azwar, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Yogyakarta: International Insitute of Islamic Thought.
DR.H.RIDJALUDDIN.FN.,M.Ag, PERANAN
EKONOMI ISLAM DALAM TEORI EKONOMI MODERN
http://ekonomsyariah.wordpress.com/2011/12/16/peranan-ekonomi-islam-dalam-teori-ekonomi-modern-part-1/,
2012
Djamil, Fathurrahman, 1997, Filsafat Hukum Islam, cet.
I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta
Ensiklopedia Islam, Al-Amwal, http://id.islam.wikia.com/wiki/Al-Amwal
2013
Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta: LIPPM.
Umar Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective:
Lanscap Baru Perekonomian Masa Depan. Penerjemah Sigit Pramono, (Jakarta: SEBI,
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar