POLITIK ISLAH: RE-NEGOSIASI ISLAH, KONFLIK, DAN KEKUASAAN DALAM NAHDLATUL WATHAN DI LOMBOK TIMUR
Oleh. Saipul Hamdi
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
Oleh. Saipul Hamdi
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
PENGANTAR
Konflik merupakan salah satu ancaman
besar yang dihadapi bangsa Indonesia padamasa Reformasi. Jatuhnya rezim
Suharto 1998 ditandai dengan munculnya berbagai konflik komunal hampir
di setiap daerah di Indonesia (Anwar et al ., 2005; Nugroho et al.,
2004). Konflik yang muncul pada masa Reformasi lebih bersifat komunal
yang me libatkan sebuah masyarakat, komunitas, or ganisasi atau
institusi sosial (Tomagola, 2006; Colombijn, 2001). Konflik tidak hanya
di sebabkan oleh perbedaan identitas budaya, bahasa, dan agama, tetapi
juga karena adanya kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Anthony
Giddens mengatakan bahwa konflik sangat dekat dengan ideolo gi, politik,
dan kekuasaan. Bahkan sebagian besar konflik yang muncul hanya disebab
kan oleh faktor kekuasaan (Giddens, 1989: 571). Konflik komunal di
Ambon, Maluku, Poso, Kalimantan, dan Lombok memiliki kaitan yang kuat
dengan kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan. Kuatnya pengaruh
dari faktor-faktor tersebut menyebabkan konflik terus mengalami
polarisasi, reproduksi, dan eskalasi di masyarakat (Van Klinken, 2005:
94, 99; Wilson, 2008: 130- 131).
Lombok merupakan salah satu daerah rawan
konflik sejak rezim Orde Baru turun dari tahta kekuasaan. Dalam satu
dekade terakhir telah terjadi berbagai konflik komunal seperti konflik
antara kampung, antara agama, dan konflik internal keagamaan yang
melibatkan organisasi-organisasi Islam. Konflik agama sangat dominan
mewarnai konflik komunal di Lombok seperti konflik antara agama Islam
dengan Kristen (2000), konflik internal organisasi Nahdlatul Wathan
(1998-2009), konflik antara jamaah Ahmadiyah dengan masyarakat lokal
(2002-2011), konflik kelompok Amphibi dengan komunitas Hindu di Mataram
(1999) dan dengan masyarakat di desa Perampauan (2000) di Lombok Barat,
dan konflik LDII dengan masyarakat lokal (2002) di Lombok Timur
(Kristiansen, 2003: 121-122; Avonius, 2004: 66; Macdougall, 2007: 297;
Smith dan Hamdi, 2009: 2).
Artikel ini membahas konflik komunal
internal organisasi (NW) dan upaya-upaya islah atau rekonsiliasi yang
dilakukan oleh kelompok elite. Konflik NW termasuk konflik yang
berkepanjangan karena setip upaya proses negosiasi islah antara agen
selalu mengalami kegagalan. NW adalah organisasi sosial keagamaan lokal
yang didirikan pada tahun 1953 oleh Tuan Guru Hajji ( TGH) Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid atau lebih dikenal dengan Maulana Syaikh di
Pancor, Lombok Timur. Dalam waktu yang tidak lama NW mengalami kemajuan
yang sangat pesat dan menjadi kelompok mayoritas Muslim terbesar di
Lombok. Jumlah warga NW di Lombok diperkirakan 2 juta orang sehingga ia
memiliki peran penting di dalam pembangunan civil society dan
pemerintahan (Baharuddin, 2007: 111-115; Rasmianto dan Baharuddin, 2004:
42; Nu’man, 1999: 32).
Sebagai organisasi besar di tingkat
lokal NW menghadapi berbagai persoalan baik dari internal maupun
eksternal. NW mengalami konflik dan perpecahan setelah pendiri NW
Maulana Syaikh wafat tahun 1997. Terdapat dua kubu yang muncul
pasca-Syaikh yang dipimpin oleh kedua keluarga putrinya yaitu kubu
Rauhun (R1) dan Raihanun (R2). Kedua kubu dan pendukungnya bersaing
memperebutkan posisi sebagai pemimpin NW yang baru menggantikan Syaikh
(Macdougall, 2007: 286). Konflik NW mengalami puncak pada Muktamar NW ke
10 tahun 1998 di Praya, Lombok Tengah. Hasil Muktamar Praya menunjukkan
bahwa salah satu kubu terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NW,
namun hasil Muktamar ini tidak diterima oleh kubu yang lain yang menilai
tidak sah dan melanggar aturan organisasi. Hasil Muktamar melahirkan
pro dan kontra di kalangan jamaah NW dan akhirnya berubah menjadi
konflik sosial yang berkepanjangan (Saprudin, 2005; Nazri, 2000).
Konflik NW pasca-Muktamar Praya 1998
belum memperlihatkan adanya tanda-tanda islah antara kedua kubu. Selama
satu dekade lebih upaya-upaya islah NW selalu kandas dan gagal di tengah
jalan karena disebabkan oleh berbagai faktor. Di tengah kebuntuan
proses negosiasi islah secara mengejutkan kedua kubu NW mencapai
kesepakatan islah pada bulan Mei 2010. Islah NW yang mendadak ini
menimbulkan kontraversi di masyarakat karena sarat dengan kepentingan
politik elite-elite NW. Islah NW tidak bisa dipisahkan dari proses
pencalonan salah satu tokoh NW dari kubu R2 sebagai calon bupati pada
Pilkada di Lombok Tengah. Untuk memenangkan Pilkada ini dibutuhkan
penyatuan suara NW dari kedua kubu, jika tidak maka sulit bagi calon
dari NW untuk meraih kemenangan. Bagaimana proses islah dan motivasi
yang melatarbelakanginya akan dibahas berikutnya.
Lombok Timur adalah kabupaten yang
paling padat penduduknya di provinsi NTB yakni 1.053.347 jiwa, dengan
kategori laki- laki 480.791 jiwa, dan perempuan 572.556 jiwa (BPS Lombok
Timur, 2006: 73-91). Laju pertumbuhan penduduk di Lombok Timur dan
lapangan kerja yang semakin menyempit berdampak pada tingginya jumlah
buruh migran (TKI) yang bekerja ke luar negeri seperti di Malaysia dan
Arab Saudi. Masyarakat Lombok Timur menganut berbagai macam agama dan
aliran kepercayaan seperti Islam, Hindu, dan Kristen. Islam adalah agama
mayoritas masyarakat Lombok Timur.
NW didirikan oleh Maulana Syaikh pada
tahun 1953 di Pancor, Lombok Timur, dan NTB. Kata NW berasal dari bahasa
Arab yakni nahdlah berarti kebangkitan atau pergerakan, dan wathan
berarti tanah air, sedangkan Nahdlatul Wathan artinya gerakan tanah air
(Nu’man, 1999: 48). Istilah NW bukan lahir dari Syaikh, tetapi telah
dikembangkan oleh Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Mansur sebagai nama
organisasi pergerakan di Surabaya tahun 1916 (Nooret al., 2004: 294).
Selain NW mereka juga membentuk Nahdlatul Tujjar (NT) dan Nahdlatul
Fikri (NF). Fakta sejarah ini menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat
hubungan antara NW versi Hasbullah dan Mansur dengan NW versi Syaikh.
Menurut Muhammad Noor secara organisatoris tidak ada hubungan antara
keduanya karena jarak waktu yang cukup jauh, meskipun Syaikh pernah
diangkat sebagai konsulat NU di tahun 1950 perwakilan dari pulau Sunda
Kecil (Noor et al., 2004: 304).
NW fokus di tiga bidang pembangunan
yaitu pendidikan, sosial dan dakwah. Jumlah lembaga pendidikan di bawah
naungan NW sebanyak 1.500 buah dari tingkat SD hingga perguruan tinggi
(Noor et al., 2004;Nu’man, 1999). Pembangunan lembaga lembaga pendidikan
ini dilakukan melalui peran kader yang tersebar di berbagai daerah di
Lombok. NW juga mendirikan panti asuhan untuk anak yatim dan anak kurang
mampu. Mereka disekolahkan dan diberi beasiswa hingga selesai. Untuk
kegiatan dakwah para tuan guru NW mengadakan pengajian keliling desa.
Pengajian ini dihadiri oleh jamaah NW dari berbagai desa dan sifatnya
harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. NW mengembangkan tradisi ritual
yang dikenal dengan hiziban, wiridan atau
zikiran, barzanji, dan syafa’ah. NW juga mengembangkan kesenian dengan menciptakan lagu-lagu berbahasa Arab, Indonesia, dan bahasa Sasak (Noor et al., 2004; Nu’man, 1999; Baharuddin dan Rasmianto, 2004).
zikiran, barzanji, dan syafa’ah. NW juga mengembangkan kesenian dengan menciptakan lagu-lagu berbahasa Arab, Indonesia, dan bahasa Sasak (Noor et al., 2004; Nu’man, 1999; Baharuddin dan Rasmianto, 2004).
NW menganut aqidah Ahlussunnah wa
Al-Jama’ah dengan menerapkan mazhab Syafi’i sebagai mazhab tunggal
organisasi. Asas organisasi NW adalah Pancasila sesuai dengan
undang-udang nomor 8 tahun 1985. Khittah NW adalah tidak berafiliasi
kepada salah satu organisasi politik dan organisasi sosial
kemasyarakatan mana pun (Nu’man, 1999; Noor et al., 2004). Dalam
praktiknya khittah ini berbeda karena NW sejak berdiri telah aktif di
kegiatan politik praktis. Pada Pemilu pertama 1950 pendiri NW aktif di
Partai Masyumi dan pernah menduduki jabatan Penasehat Partai Masyumi di
tahun 1952. Setelah Masyumi dibubarkan dia ikut membentuk Parmusi
bersama tokoh-tokoh dari ormas lain (Noor et al., 2004: 245-246).
Sejak Orde Baru muncul NW bergabung de
ngan Sekertariat Bersama (Sekber) Partai Golkar dan pada tahun 1970 NW
secara resmi bermitra dengan Partai Golkar (Noor et al., 2004: 257-248).
Perubahan sistem demokrasi dengan multi-partai di Indonesia
pasca-Suharto memposisikan NW sebagai organisasi yang sangat
diperhitungkan oleh partai politik nasional. Di Era Reformasi, afiliasi
politik NW ikut mengalami perpecahan karena kondisi NW yang sedang
mengalami konflik internal. Pada Pemilu 1999 kubu R1 bergabung dengan
PDR dan kubu R2 memilih tetap bersama Partai Golkar. Pada Pemilu 2004
kedua kubu kembali mengganti bendera partai politiknya, kubu R1
berafiliasi ke Partai Bulan Bintang (PBB), dan kubu R2 berafiliasi ke
Partai Bintang Reformasi (PBR). Kedua partai afiliasi NW PBB dan PBR
selalu masuk tiga besar dalam perolehan suara di tingkat lokal. Mereka
juga berhasil mengantarkan salah satu kadernya sebagai anggota DPR RI.
Dikarenakan perolehan kedua partai ini tidak mencapai Parliamentary
Threshold (PT) pada Pemilu 2009 di tingkat nasional, maka NW disinyalir
akan berganti partai politik. Menurut informasi di lapangan NW kubu R1
akan bergabung ke Demokrat sedangkan R2 bergabung ke Gerindra.
Muktamar Praya: Konflik Tafsir Agama atas Kepemiminan Perempuan
Konflik sosial yang muncul di masya
rakat tidak terjadi secara instan, tetapi hasil dari proses, sejarah,
relasi, dan interaksi sosial yang panjang antara agen-agen sosial di
masyarakat (Broomley, 2002; Tambiah, 1996; Horowitz, 1985). Konflik NW
1998 merupakan akumulasi dari konflik sebelumnya, puncak dari proses
rentetan sejarah panjang yang melibatkan elite-elite NW dalam
pertarungan perebutan kekuasaan dan dominasi sumber-sumber modal di
dalam dan luar NW (Hamdi, 2011; Hadi,2010; Saprudin, 2005). Meskipun
terlalu jauh mengaitkan hubungan konflik NW 1998 dengan konflik NW 1977
karena konteks yang berbeda, tetapi secara tidak langsung terdapat
benang merah yang menghubungkan konflik yang berbeda dekade ini.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian besar aktor yang terlibat konflik 1998 ini adalah aktor-aktor
lama yang pernah terlibat konflik 1977. Dengan demikian konflik NW
adalah konflik ‘warisan’ antara keluarga dan kerabat Syaikh yang ingin
menguasai seluruh modal ekonomi, nonekonomi, dan modal simbolik di dalam
NW. Konflik NW terjadi pada masa transisi di tingkat lokal dan
nasional. Pendiri NW wafat pada 1997 bersamaan dengan munculnya krisis
ekonomi menimpa Indonesia yang berdampak pada reformasi dan transisi
politik dari Orde Baru ke Reformasi (Hadi, 2010; Nazri 2001; Hamdi,
2011). Masa transisi ini memiliki pengaruh pada instabilitas
sosial-politik di masyarakat termasuk instabilitas di kalangan jamaah
NW. Kepergian Syaikh melahirkan pertanyaan siapa yang akan mengganti
posisinya sebagai pemimpin NW khususnya dan ummat Islam pada umumnya?
Syaikh tidak memiliki anak laki-laki tetapi hanya dua anak perempuan
Rauhun (R1) dan Raihanun (R2) yang lahir dari ibu yang berbeda karena
dia menganut poligami. Wafatnya Syaikh merupakan sebuah babak baru bagi
organisasi dan jamaah NW. Selama ini NW selalu identik dengan Syaikh
karena selain menjadi pendiri NW, dia juga dikenal sebagai pemimpin yang
kharismatik yang sangat disegani dan dihormati.
Kepergian tokoh kharismatik NW diikuti
dengan munculnya konflik dan perpecahan terbuka antara keluarga,
kerabat, dan elite-elite NW. Meskipun konflik keluarga dan elite-elite
NW ini pada dasarnya telah muncul sejak Syaikh masih hidup, namun
bersifat sembunyi-sembunyi karena para aktor konflik merasa sungkan
dengan Syaikh yang memiliki kharisma yang kuat. Konflik keluarga Syaikh
selain karena persaingan juga karena sikap elite-elite NW yang tidak
pernah netral memperlakukan kedua putri Syaikh. Padahal Syaikh di
beberapa kesempatan telah berpesan kepada jamaahnya untuk bersikap
netral dan tidak membeda bedakan keduanya. Syaikh mengatakan bahwa kedua
putriku adalah ibarat kedua mataku dan siapa yang berpihak kepada salah
satu di antara mereka sama artinya dengan menusuk salah satu mataku.
Sikap kelompok elit NW yang diskriminatif sangat mempengaruhi
determinasi konflik dan per pecahan yang terjadi di kalangan keluarga
Syaikh.
Kekuatiran berbagai pihak akan muncul
konflik dan perpecahan terbuka antara kedua kubu NW pasca-wafatnya
Syaikh menjadi kenyataan. Konflik NW tidak dapat dihindari dan mengalami
puncak pada Muktamar ke-10 di Praya Lombok Tengah 1998 (Nazri, 2001;
Hamdi, 2011; Hadi,2010). Nuansa Muktamar kali ini berbeda dengan
Muktamar-muktamar NW sebelumnya. Setidaknya ada tiga hal yang
membedakannya, yaitu (1) muktamar ini tidak diikuti oleh pendiri
sekaligus pemimpin kharismatik NW karena dia telah wafat. Biasanya
Syaikh selalu hadir di acara Muktamar NW dan memiliki peran dan pengaruh
besar untuk menentukan formasi struktur kepengurusan organisasi; (2)
muktamar ini sarat dengan kepentingan politik para elit dalam perebutan
posisi-posisi penting di dalam kepengurusan organisasi NW. Sebagaimana
telah disebutkan di atas bahwa ada dua kubu yang muncul bersaing
memperebutkan kursi kepemimpinan NW; (3) Muktamar NW diadakan pada masa
transisi dari Orde Baru ke Reformasi. Masa transisi dengan turunnya
Suharto telah menimbulkan ketidakstabilan sosial-politik di tingkat
nasional. Kondisi ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi
sosio-politik lokal di Lombok termasuk juga di dalam konteks politik
NW.
Muktamar Praya diwarnai persaingan dan
pertaruhan gengsi elite-elite NW dari kedua kubu. Menjelang Muktamar
mobilisasi massa dan manuver-manuver politik terus dilakukan oleh para
elite dalam rangka memenangkan calon mereka. Acara Muktamar berlangsung
dari tanggal 24-26 Juli 1998 di lapangan Koni Praya Lombok Tengah.
Peserta Muktamar yang berhak memberikan suara pada pemilihan calon ketua
umum (Ketum) PB NW sebanyak 92 orang (Hamdi, 2011: 185; Mugni, 2005:
22). Ada dua tahapan pemilihan calon Ketum yaitu penjaringan bakal calon
dan pemilihan calon Ketum. Seorang bakal calon berhak maju untuk tahap
kedua jika memperoleh minimal 18 suara dari 92 suara. Dari hasil tahap
pertama penjaringan bakal calon Ketum terdapat dua nama yang muncul
yaitu Raihanun dan Ma’sum Ahmad. Raihanun didukung oleh kubu R2
sedangkan Ahmad didukung oleh kubu R1. Raihanun memperoleh 54 suara, dan
Ahmad 34 suara, 1 abstain, 1 batal, dan 2 utusan tidak ikut memilih
(Hamdi, 2011: 186; Mugni, 2005: 2003). Munculnya nama Raihanun pada
bursa bakal calon Ketum tidak pernah diperkirakan sebelumnya oleh kubu
R1 karena selama ini dia dikenal sebagai ibu rumah tangga. Kesuksesan
Raihanun tidak lepas dari posisinya sebagai putri Syaikh dan juga
pengaruh kuat suaminya yang memiliki pengikut yang fanatik ketika
memimpin NW bersama Syaikh (Hadi, 2010: 58; Hamdi, 2011: 187).
Selesai penghitungan hasil tahap pertama
sidang Muktamar diskor untuk istirahat dan Shalat Jumat. Kubu R1 cukup
resah dengan hasil Mutamar apalagi nama yang muncul adalah putri Syaikh
yang tentunya sulit untuk dikalahkan. Dia hanya dapat ditandingi oleh
kakaknya Rauhun, namun dia terlanjur tidak mencalonkan diri dengan
alasan menghindari konflik keluarga. Sidang Muktamar untuk tahap kedua
dimulai lagi setelah selesai shalat jumat. Sebelum sidang dimulai Ahmad
seorang calon dari kubu R1 mempertanyakan kepada ketua sidang tentang
keabsahan status perempuan sebagai pemimpin dalam mazhab Syafi’i.
Menurut penafsiran Ahmad dan kubu R1 bahwa mazhab Syafi’i tidak
membolehkan perempuan sebagai pemimpin termasuk pemimpin organisasi,
sementara NW hanya menganut mazhab ini. Merespons pertanyaan Ahmad
anggota Dewan Syuro PB NW terdiri dari TGH. Ruslan Zain dan TGH. Hilmi
Najamuddin mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi kaum perempuan
sebagai pemimpin di dalam mazhab Syafi’i khususnya pemimpin organisasi.
Menurut penafsiran mereka mazhab Syafi’i tidak membolehkan perempuan
sebagai pemimpin hanya pada kasus-kasus tertentu seperti menjadi kepala
negara, imam shalat bagi laki-laki, dan menjadi hakim pidana (Hadi,
2010: 58; Hamdi, 2011: 188; Saprudin,2005).
Mendengar respons dari anggota Dewan
Syuro PB NW yang notabenenya adalah pendukung R2, Ahmad, dan kubu R1
menyatakan tidak puas. Ahmad mengundurkan diri sebagai salah satu calon
Ketum dan menyatakan tidak akan bertanggung jawab dengan hasil Muktamar.
Dia dan pendukungnya walk out dari arena Muktamar, sedangkan peserta
Muktamar yang lain (mayoritas pendukung R2) tetap melanjutkan agenda
pemilihan calon Ketum. Mereka secara aklamasi memilih Raihanun karena
Ahmad mengundurkan diri. Raihanun resmi dilantik sebagai Ketum PB NW
untuk masa jabatan 1998-2003. Hasil Muktamar Praya melahirkan pro dan
kontra di kalangan jamaah NW. Kubu R1 menolak hasil Muktamar karena
dinilai melanggar aturan organisasi yang menganut mazhab Syafi’i,
sedangkan kubu R2 menilai kepengurusan mereka telah sah dan tidak
melanggar ajaran mazhab Syafi’I (Hadi, 2010;Hamdi, 2011; Saprudin, 2005;
Smith dan Hamdi, 2009).
Terjadi konflik tafsir agama tentang
kepemimpinan perempuan di kedua kubu yang mengklaim sebagai kelompok
mereka yang benar dan kelompok lain yang salah. Kedua kubu aktif
menyosialisasikan hasil Muktamar melalui pengajian di desa-desa yang
menjadi basis pendukung mereka. Kedua kubu menggunakan agama sebagai
alat legitimasi wacana dan media agama sebagai alat reproduksi wacana
dengan melibatkan para Tuan Guru sebagai agen. Implikasinya konflik dan
kekerasan antara jamaah kedua kubu sulit untuk dihindari ketika mereka
di dalam satu desa. Kedua kubu berkompetisi memperoleh legitimasi
kekuasaan dari masyarakat NW. Elite-elite NW tidak hanya memperebutkan
massa, tetapi juga teritori pengajian yang dinilai penting sebagai
bentuk legitimasi. Jika massa mereka lebih besar dari massa kubu yang
lain, maka teritori tersebut diklaim sebagai milik mereka dan tidak
boleh bagi kubu lain melakukan kegiatan keorganisasian termasuk
pengajiandi wilayah itu. Keduanya berupaya saling menggagalkan pengajian
karena dinilai politis dan merebut teritori kekuasaan mereka. Proses
dan mekanisme meluasnya konflik dan kekerasan akan dibahas berikutnya.
PEMBAHASAN Meluasnya Konflik NW: dari Wacana ke Praktik Konflik
Perang wacana yang terjadi antara
elite-elite NW dari kedua kubu pasca-Muktamar Praya telah berubah
menjadi praktik konflik dan kekerasan antara pendukung mereka. Wacana
yang berkembang adalah masing-masing mengklaim sebagai kelompok yang sah
dan legitimate dan menyalahkan kelompok yang lain. Proses produksi dan
reproduksi wacana dikonstruksi dan direproduksi melalui media agama
yaitu pengajian. Wacana agama difungsikan sebagai pendukung dan penguat
wacana kekuasaan yang diproduksi oleh kedunya. Apa yang dikatakan dan
diwacanakan oleh elite NW menjadi ‘kebenaran mutlak’ yang diterima
begitu saja oleh jamaah NW. Wacana ini ibarat ‘sabda’ yang mempunyai
kekuatan magis yang dapat membentuk dan mempengaruhi perilaku dan
tindakan para jamaah (Foucault, 1972: 80; Mills, 1997: 3; Bourdieu,
1977: 80). Mereka akan mengikuti seluruh instruksi elit tanpa bertanya
asal-usul, orientasi dan dampaknya terhadap kehidupan mereka. Misalnya
ketika mereka diundang ke medan perang untuk bertempur, maka dengan suka
rela mereka datang melaksanakan tugas yang diklaim sebagai perang suci.
Praktik konflik dan kekerasan yang
dilakukan antara jamaah NW mengalami polarisasi dan reproduksi dari satu
tempat ke tempat yang lain. Hijrahnya tokoh dan jamaah NW kubu R2 dari
Pancor setelah mendapat tekanan dan serangan kelompok R1 tidak membuat
konflik berhenti begitu saja, justru konflik semakin meluas ke desa-desa
yang menjadi basis jamaah NW (Mac-dougall, 2007; Hamdi, 2011; Hadi,
2010).Apalagi secara organisatoris NW menganut dualisme kepemimpinan
setelah kubu R1 mengadakan Muktamar Reformasi pada tahun 1999. Dualisme
kepemimpinan di dalam NW memposisikan jamaah pada pilihan yang sulit dan
dilematis karena harus memilih salah satu dari dua kubu NW yang ada
(Hamdi, 2011; Smith dan Hamdi, 2009;Hadi, 2010). Meskipun pilihan netral
adalah pilihan yang ideal dalam struktur konflik NW, tetapi mereka yang
memilih posisi ini akan mengalami diskriminasi dan seringkali dicurigai
oleh salah satu kubu atau dari kedua kubu NW. Sementara jika memihak
salah satu kubu sama artinya melibatkan diri ke dalam konflik. Pilihan
yang sulit dan dilematis ini terus menghantui jamaah NW selama satu
dekade sampai lahirnya konsesus untuk islah.
Kekerasan antara jamaah NW lebih banyak
terjadi di Lombok Timur daripada di Lombok Tengah dan Barat. Meskipun
demikian konflik dan kekerasan ini melibatkan hampir seluruh jamaah di
Lombok. Perang NW bukan hanya perang antara warga NW tetapi perang
antara pepadu atau orangsakti yang saling menguji tingkat kesaktian ilmu
mereka (Hamdi, 2011: 240: Smith dan Hamdi, 2009). Para pepadu
memanfaatkan konflik NW sebagai ajang pembuktian tingkat kesaktian
mereka. Sementara di satu sisi kedua kubu saling mengundangkan pepadu
dari desa-desa lain untuk memperkuat pertahanan dan serangan mereka.
Menurut informasi di lapangan, perang
‘atas’ lebih dahsyat daripada perang ‘bawah’. Yang dimaksud dengan
istilah perang ‘atas’ adalah perang di udara yang melibatkan orang-orang
sakti yang berkelahi dengan cara terbang dan biasanya dilakukan pada
malam hari. Sedangkan perang ‘bawah’ adalah perang di darat yang
melibatkan masyarakat secara umum dan biasa-nya pada siang hari (Hamdi,
2011: 241). Perang ‘atas’ hanya melibatkan orang-orang yang mempunyai
ilmu kesaktian tinggi yangbisa mengubah dirinya ke berbagai jenis
binatang. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah orang yang
meninggal dalam perang ‘atas’ ini.
Wilayah-wilayah yang rawan konflik dan
kekerasan adalah kecamatan Suralaga, Selong, Masbagik, Kota Raja,
Wanasaba, Peringgasela, Peringgabaya, Suka Mulia, dan Aikmel. Konflik
mengalami ekstrimasi jika terdapat elite-elite NW terutama Tuan Guru
dari kedua kubu di dalam satu desa. Konflik dan kekerasan tidak bisa
dihindari karena para Tuan Guru saling berebut simpati massa dan ingin
menunjukkan kekuatan kubu masing-masing di desa tersebut. Kerusuhan
pertama terjadi di Pancor 1998 ketika pendukung R1 menyerang tokoh dari
kubu R2 (Mugni, 2005: 32; Nazri, 2001: 14; Hamdi, 2011: 242).
Pendukung kedua kubu terus saling
meneror dan melakukan tindak kekerasan. Kubu R1 lebih diuntungkan karena
mayoritas masyarakat Pancor adalah pendukung mereka. Rumah dan
toko-toko milik tokoh R2 dijadikan sasaran serangan oleh pendukung R1
yang kecewa dengan sikap mereka yang tidak netral dengan putri Syaikh.
Di antara Tuan Guru yang menjadi target serangan adalah TGH. Anas
Hasyri, TGH. Mahmud Yasin, dan TGH. Tahir. Serangan demi serangan terus
dilakukan oleh pendukung R1 yang berakhir dengan hijrahnya kubu R2 dan
pendukungnya dari Pancor ke desa Kalijaga kemudian ke desa Anjani.
Peristiwa di Pancor hanya merupakan
babak awal terjadinya konflik dan kekerasan antara jamaah NW. Perang
terbuka terus meluas ke wilayah-wilayah lain di Lombok Timur setelah
kubu R2 meninggalkan Pancor dan membangun kekuatan di desa Kalijaga dan
Anjani. Pada tahun 2000 terjadi kerusuhan antara kedua pendukung di desa
Gotong Royong ketika pengajian kubu R1 berusaha digagalkan oleh kubu
R2. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, hanya beberapa orang
terluka (Hamdi, 2000: 251; Mugni, 2005; Nazri, 2001).
Di tahun yang sama 2000 juga terjadi
kerusuhan di Desa Kesik, Kecamatan Masbagik ketika kedua jamaah NW
saling menghadang dan menggagalkan pengajian. erusuhan ini menyebabkan
puluhan orang terluka akibat saling melempar dengan batu dan senjata
tajam (Hamdi, 2011: 255-256). Sepanjang tahun 2000-2001 terjadi aksi
saling serang di beberapa desa sehingga menimbulkan kerusakan rumah
seperti di desa Kelayu, dusun Majuet, dan Kota Raja (Ibid, 268). Pada
tahun 2002 terjadi perang besar antara kedua pendukung di desa Wanasaba.
Kubu R2 mengadakan pengajian, tetapi digagalkan oleh kubu R1 sebagai
aksi balasan atas serangan pengajian sebelumnya. Menurut catatan
kepolisian 4 orang mening gal dunia dan puluhan orang terluka (Ibid,
272).
Kerusuhan Wanasaba merembet ke desa-desa
yang lain termasuk desa Paok Lombok, Borok Tumbuh dan desa Tebaban.
Korban dalam kerusuhan di desa-desa tersebut adalah 4 orang meninggal
dunia, ratusan rumah dibakar dan dirusak, dan ratusan orang mengungsi ke
desa lain. Kerusuhan di Paok Lombok disebabkan keinginan tokoh dari
kubu R2 untuk mengadakan acara Maulid di masjid, tetapi tidak diberi
izin oleh tokoh-tokoh R1 sehingga massa dari kedua kubu bentrok.
Kerusuhan ini melibatkan desa-desa tetangga seperti Dusun Majuet, Dusun
Borok Tumbuh dan Desa Tebaban. Melihat pola konflik dan kekerasan antara
jamaah NW di atas secara keseluruhan hampir sama yaitu terjadi pada
waktu pengajian dan motivasinya adalah perebutan massa dan pengaruh di
kalangan jamaah NW sebagai bagian dari legitimasi kekuasaan kedua kubu.
Masing-masing kubu membutuhkan pengakuan sebagai kubu yang sah memimpin
organisasi NW. Media agama seperti pengajian dijadikan sebagai alat
reproduksi kekuasaan dan sekaligus kekerasan. Setiap ada pengajian maka
kekerasan juga muncul di pengajian tersebut. Pengajian bukan lagi
berfungsi sebagai tempat siraman rohani, tetapi lebih sebagai tempat
saling memfitnah, menjatuhkan, menyerang dan sebagai tempat aksi
kekerasan. Salah satu kubu berupaya menggagalkan penga jian dari kubu
yang lain karena dinilai politis dan dapat mempengaruhi massa dari kubu
mereka. Ada kekuatiran jika nantinya pendukung mereka akan beralih ke
kubu yang lain. Pola-pola konflik di dalam pengajian ini terus mengalami
reproduksi dan terinternalisasi di dalam diri jamaah NW.
Upaya-Upaya Islah yang Selalu Gagal
Islah atau rekonsiliasi merupakan salah
satu tahapan penting dalam proses resolusi konflik NW. Islah mengarah
pada restorasi dan rekonstruksi struktur yang mengalami kekacauan sosial
(disorder) dan instabilitas akibat konflik dan kekerasan yang
berkepanjangan. Islah identik dengan proses penyembuhan (healing) luka
dan trauma masyarakat yang menjadi korban, mencari keadilan (justice)
dan kebenaran (truth) dan saling memaafkan (forgiveness) antara korban
dan pelaku kekerasan (Skaar dan Bloomfield, 2008: 14). Islah tidak hanya
merupakan sebuah tujuan yang harus dicapai, tetapi juga merupakan
sebuah proses yang harus dijalani dan dilakukan oleh para pelaku dan
korban konflik (Bloomfield et al., 2006: 11).
Tujuan islah adalah membangun kembali
kehidupan bersama antara pelaku dan korban konflik, tidak harus
mencintai mereka,atau memaafkan mereka, atau melupakan masa lalu, tetapi
co-exist untuk mengembangkan tingkat kerja sama membagi kehidupan
sosial kemasyarakatan (Ibid, 2006: 11). Proses islah atau rekonsiliasi
bukanlah sesuatu yang mudah untuk direalisasikan. Pada kasus-kasus
tertentu terkadang islah mengalami keberhasilan, dan terkadang juga
banyak mengalami kegagalan total.
Menurut David Bloomfield islah harus
dilihat sebagai proses yang panjang yang membutuhkan beberapa dekade
bahkan pergantian beberapa generasi (Bloomfield, 2006:22). Konflik di
Aceh, Ambon, Poso, Timor-Timur, Kalimantan, dan Lombok membutuhkan waktu
puluhan tahun untuk mencapai rekonsiliasi. Konflik NW termasuk salah
satu konflik yang berkepanjangan di Indonesia dan untuk sementara waktu
dapat dikatakan gagal dalam mencapai islah. Konflik NW yang telah
menginjak satu dekade lebih belum memperlihatkan tanda-tanda akan
terjadinya islah atau rekonsiliasi terutama di tingkat elite. Sejak
1998-2009 proses islah belum mengalami kemajuan yang berarti, bahkan
setiap adanya inisiasi dan upaya islah selalu kandas di tengah jalan
(Hamdi, 2010: 353). Kedua kubu belum menemukan titik temu dan format
islah yang tepat karena adanya sarat dan tuntutan yang tidak mungkin
terpenuhi oleh salah satu kubu.
Peran pemerintah daerah sebagai pihak
yang seharusnya netral dan mampu memfasilitasi proses islah NW ikut
terjebak dalam konflik. Kecenderungan yang terjadi adalah mereka memihak
salah satu kubu sehingga menimbulkan perlawanan dari kubu NW yang lain.
Misalnya mantan Bupati Lombok Timur M. Sahdan dinilai lebih condong ke
kubu R1, sementara mantan bupati setelah nya Ali Bin Dahlan cenderung ke
kubu R2.
Sulit bagi pemerintah daerah bersikap
netral karena kepentingan yang besar terhadap NW. Bahkan pemerintah
seringkali memamfaatkan konflik NW untuk tujuan politik praktis. Mereka
tidak mau melihat NW bersatu, jika bersatu, maka NW akan menjadi
rivalitas politik yang sangat kuat melihat kekuatan NW sebagai kelompok
majoritas di Lombok. Terbukti pada Pilkada 2008 NW dari kubu R1 berhasil
mengantarkan kader terbaiknya sebagai gubernur NTB dan Bupati Lombok
Timur. Kemenangan ini diraih tanpa dukungan kubu R2 yang justru
mendukung calon lain di luar NW.
Kegagalan islah di tingkat elite pada
kenyataannya tidak berlaku bagi jamaah NW. Di beberapa desa yang
sebelumnya sangat rawan dan parah akibat konflik mulai membangun kembali
kehidupan mereka (Hamdi, 2011: 343-344). Sebagian besar masyarakat di
desa itu berupaya melakukan islah secara natural tanpa tekanan atau
arahan dari kelompok elite. Mereka mulai sadar dengan apa yang menimpa
mereka dan keluarga yang terpecah belah akibat konflik.
Mereka mulai saling menegur dan
mengundang kembali keluarga mereka yang berbeda afiliasi ke-NW-annya.
Ikatan komunalitas dan kekeluargaan yang hancur akibat terjangan badai
konflik seakan menemukan kembali eksistensi dan fungsinya di masyarakat.
Hambatan utama islah NW hanya pada kelompok elite. Mereka masih
berupaya mempertahankan konflik untuk menjaga kepentingan mereka dan
kelompoknya tanpa mempedulikan keadaan masyarakat (Ibid, 354).
Setidaknya terdapat empat faktor yang
menyebabkan kegagalan islah NW yaitu (1) faktor kepentingan, (2) gengsi,
(3) lemahnya budaya dialog, dan (4) faktor wasiat Maulana Syaikh.
Faktor kepentingan telah menghambat proses islah NW. Kepentingan di sini
tidak hanya kepentingan politik, tetapi juga kepentingan ekomomi,
status, pengaruh dan pengakuan sosial. Selain itu, faktor gengsi juga
menjadi penghambat proses islah karena kedua kubu merasa lebih mampu,
legitimate, dan lebih besar sehingga merasa gensi menerima kehadiran
kubu lain. Budaya dialog yang tidak berkembang di lingkungan NW juga
menjadi faktor kendala islah karena para elit tidak pernah bertemu dan
berdialog untuk mencari titik temu masalah yang mereka hadapi. Para elit
sangat alergi dengan dialog, mereka hanya berani saling mengkritisi di
balik layar. Sementara wasiat Maulana Syaikh yang memprediksi perpecahan
NW yang akan berlangsung 20 tahun telah diyakini kebenarannya sehingga
sebesar apa pun usaha untuk islah tidak akan berhasil kecuali menunggu
apa yang dikatakan dalam wasiat tersebut. Kalau dihitung dari sejak
konflik NW 1998, maka islah NW akan terwujud pada tahun 2018.
Islah NW: antara Kepentingan Politik atau Kepentingan Ummat
Di tengah kebuntuan para elite NW dalam
upaya mewujudkan islah, sebuah ‘keajaiban’ datang pada Mei 2010, kedua
kubu NW akhirnya sepakat untuk islah. Kesepakatan islah ini menimbulkan
kontroversi di masyarakat karena prosesnya dinilai instan dan
motivasinya sarat dengan kepentingan politik. Kubu R2 secara tiba-tiba
menerima tawaran islah dari kubu R1, padahal sebelumnya berbagai langkah
dan pendekatan telah dilakukan namun tidak pernah berhasil. Islah NW
dalam konteks sekarang ini sulit untuk dipisahkan dari realitas dan
dinamika politik lokal ketika salah seorang putra Raihanun Gede Sakti
dicalonkan oleh kubu R2 sebagai calon bupati Lombok Tengah priode
2010-2015.
Pencalonan Sakti didukung oleh partai
politik afiliasi NW Partai Bintang Reformasi (PBR) yang berkoalisi
dengan Partai Demokrat. Untuk memenangkan Pilkada Sakti membutuhkan
dukungan seluruh suara dari jamaah NW baik dari kubu ibunya R2 maupun
dari kubu bibiknya R1. Sulit bagi Sakti menggapai kemenangan jika suara
NW terpecah dan terbagi-bagi ke calon lain. Melihat momentum politik
inilah elit-elit kubu R1 menawarkan kerja sama mendukung pecalonan Sakti
dengan sarat NW harus bersatu.
Tawaran islah dari kubu R1 adalah
pilihan yang mendekati mustahil bagi R2 karena selama ini mereka tidak
mengakui kepengurusan NW versi R1. Bahkan satu-satunya sarat yang
diberikan oleh R2 adalah pembubaran kepengurusan R1 dan mengakui kubu R2
sebagai kelompok yang sah hasil Muktamar Praya. Dikarenakan tidak ada
pilihan lain bagi kubu R2 yang mencalonkan Sakti, mereka akhirnya
menerima tawaran islah tersebut. Langkah politik R2 yang menerima
tawaran islah R1 menimbulkan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat
tentang keseriusan mereka dalam melakukan islah. Muncul kesan jika islah
NW bersifat semu atau sementara disebabkan oleh kepentingan politik
yang mendasarinya. Masyarakat kuatir islah NW terancam gagal apabila
agenda politik mereka tidak tercapai dalam konteks ini Sakti mengalami
kegagalan pada Pilkada. Elite-elite R2 mengemukakan proposal islah
khususnya islah keorganisasian dapat terwujud jika Sakti memenangkan
Pilkada, sebaliknya jika dia gagal dalam Pilkada, maka islah organisasi
sulit terwujud dan hanya bersifat islah keluarga. Sementara kubu R1
menginginkan islah secara total termasuk islah organisasi yakni
penyatuan kepengurusan dalam satu komando.
Terdapat dua hal yang mendasari
terjadinya islah NW terlepas dari asumsi dan opini yang berkembang di
masyarakat yaitu: pertama, adanya kerinduan antara keluarga Syaikh untuk
bertemu. Setajam apapun konflik dan perpecahan di kalangan pemimpin NW,
mereka masih memiliki hubungan persaudaraan. Keluarga Syaikh tidak
pernah bertemu lebih dari satu dekade (1998-2009) sejak muncul konflik
dan kekerasan secara terbuka antara pendukung mereka. Selama konflik
kedua keluarga Syaikh saling serang melalui mimbar-mimbar keagamaan
seperti pengajian. Konflik NW seperti virus ganas yang masuk ke semua
sendi kehidupan jamaah NW. Kedua, adanya kepentingan politik elite-elite
NW terkait Pilkada Lombok Tengah.
Kepentingan politik sangat dominan dalam
islah ini, seandainya bukan karena kepentingan politik kenapa islah
tidak dilakukan sebelumnya. Padahal jamaah NW secara umum telah lama
menginginkan islah. Keinginan masyarakat bawah ini tidak pernah
dihiraukan oleh sebagian elite-elite NW. Mereka berusaha mempertahankan
konflik demi menjaga kekuasaan mereka di semua ranah.
Islah NW diikuti dengan bertemunya
elit-elit NW dari kedua kubu. Setelah difasilitasi oleh elite-elite NW
akhirnya kedua putri Syaikh Rauhun dan Raihanun bertemu untuk pertama
kalinya setelah berpisah selama 12 tahun. Pada tanggal 2 Mei 2010 mereka
bertemu di makam Maulana Syaikh di Pancor, Lombok Timur. Keduanya
didampingi oleh putra mereka dan sebagian elite NW yang menggagas islah
ini. Pertemuan keluarga besar Syaikh ini sangat spesial dan mengharukan
semua pihak karena sebelumnya betapa sulit mempertemukan mereka dalam
satu ruang. Ucapan takbir ‘Allahu akbar’ dengan suara gemuruh oleh para
jamaah dan elite-elite NW mengawali pertemuan keduanya. Mereka melakukan
doa bersama yang dipimpin oleh TGB. Zainul Majdi. Selesai berdoa mereka
selanjutnya berkunjung ke rumah R1 yang tidak jauh dari area makam.
Sepanjang pertemuan islah tersebut
Raihanun terlihat kurang nyaman karena kehadiran media massa. Dia tidak
menginginkan wartawan datang meliput karena pertemuan ini dinilai
sebagai pertemuan awal keluarga. Dia menutupi wajahnya dengan kerudung
dan berusaha menghindari pengambilan gambar, namun usahanya gagal karena
para wartawan tidak berhenti mendokumentasikan foto mereka berdua.
Setelah acara doa di ruang tamu di rumah R1 seluruh keluarga Syaikh
masuk ke dalam ruangan dan tidak diperbolehkan seorang wartawan meliput
acara inti keluarga. Hanya seorang petugas pengambil foto dari NW yang
dipercaya menemani mereka sehingga semua pembicaraan dapat direkam.
Mereka sangat antusias dan bahagia dapat berbicara, menuangkan rasa
rindu yang selama ini terpendam akibat konflik yang panjang. Mereka
berfoto bersama sebagai bukti bahwa NW telah menyatu dan tidak ada lagi
persoalan di antara mereka.
Foto ini kemudian diabadikan dalam
bentuk baleho besar yang dipajang di pinggir jalan di depan kantor PB NW
Pancor. Selain bercerita tentang keluarga mereka juga membicarakan
situasi politik kaitannya dengan pencalonan Gede Sakti dan
langkah-langkah politik yang dilakukan oleh tim suksesnya.
Sebelum pertemuan kedua tokoh kunci NW
di atas terlebih dahulu diadakan pertemuan oleh kedua putra mereka yang
diwakili oleh Syamsul Lutfi (wakil Bupati Lombok Timur) dan Sakti pada
acara tablig akbar sekaligus kampanye politik di Praya Lombok Tengah.
Para tuan guru, politisi, dan jamaah NW dari kedua kubu untuk pertama
kalinya kumpul bersama-sama di acara pengajian tablig akbar ini. Lutfi
dalam ceramahnya mengatakan: “dulu konflik dan perpecahan NW terjadi di
Praya Lombok Tengah ketika NW mengadakan Muktamar ke 10 di tahun 1998,
maka sekarang islah NW juga dimulai dari Praya Lombok Tengah.”
Pidato Lutfi disambut tepuk tangan
meriah oleh jamaah NW. Lutfi juga mengatakan bahwa tolong acara
silaturrahmi dan islah ini disebarluaskan kepada seluruh jamaah NW yang
belum mengetahui supaya tidak ada lagi sesuatu yang tidak diinginkan.
Sakti dari kubu R2 juga memberikan sambutan dengan menekankan pentingnya
jamaah NW untuk bersatu, merapatkan barisan, dan melanjutkan perjuangan
Syaikh.
Dia mengatakan untuk mengakhiri konflik
yang berkepanjangan, maka biarlah untuk urusan orang tua dengan orang
tua, sedang kan urusan anak diselesaikan dengan anak- anak. Untuk
mensosialisasikan islah ini kedua kubu mengadakan pawai keliling Lombok.
Pawai ini melibatkan seluruh elemen masyarakat NW seperti siswa, guru,
mahasiswa, dosen, politisi, serta jajaran pengurus NW. Pawai ini
bertujuan supaya masyarakat umum mengetahui adanya islah NW dan tidak
ada lagi keraguan yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua jamaah dan elite-elite
NW setuju dengan islah, sebagian menolak dan tidak mempercayai dan
mengakui islah NW.
Apalagi kubu R2 tidak pernah secara
terbuka dan transparan mengumumkan islah didepan jama’ahnya. Selain
pawai islah kedua elite NW juga mengadakan acara ritual keagamaan
bersama-sama seperti mengadakan pengajian dan membaca hizib NW. Kedua
putri Syaikh juga diundang untuk hadir pada kampanye politik Sakti.
Kehadiran mereka diharapkan mampu menarik perhatian dan simpati
masyarakat supaya mendukung Sakti dan menunjukkan jika NW benar-benar
islah.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai
kebenaran dan keikhlasan islah oleh kedua kubu NW ini, tetapi islah ini
telah memberikan dampak yang sangat positif bagi masyarakat Lombok
khususnya jamaah NW. Islah ini telah melebur sekat-sekat yang selama ini
menjadi jurang pemisah antara kubu R1 dan R2. Islah juga secara tidak
langsung mengurangi tekanan bagi jamaah NW sebagai orang yang selalu
‘dicurigai’ memihak ke salah satu kubu. Sedangkan secara politik islah
NW telah mendongkrak perolehan suara Sakti dengan memenangkan Pilkada
pada putaran pertama. Sakti berhasil memenangkan Pilkada pada putaran
pertama dengan memperoleh 24,71% suara yang disusul oleh pasangan
Maik-Meres 21,83%, Jari 19,94%, dan Suke 19,33%. Meskipun di urutan
pertama Sakti harus bertarung pada putaran kedua karena tidak ada
pasangan yang memperoleh lebih dari 50% lebih dari jumlah total suara.
Walaupun Sakti telah memenangkan putaran
pertama, namun belum ada jaminan jika dia mampu memenangkan putaran
kedua karena jarak suara yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan rival
politiknya. Putaran kedua juga menjadi pertaruhan terakhir atas paket
islah NW. Jika gagal, maka islah NW secara organisasi akan terancam
gagal. Pil pahit harus ditelan oleh calon NW karena pada putaran kedua
Sakti kalah dari pasangan Maik-Meres. Sakti yang diprediksi memenangkan
Pilkada menurut hasil survey LSI mengalami kekalahan cukup besar dengan
perolehan suara 40%, sedangkan lawan politiknya Maik-Meres 59,3%.
Kekalahan ini mencoreng reputasi dan legitimasi politik NW karena
sebelumnya tokoh NW dari kubu R1 berhasil memenangkan dua jabatan
penting yaitu gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur pada Pilkada 2008.
Selain itu kekalahan ini juga berdampak pada proses islah yang telah
berlangsung dan hubungan kedua keluarga Syaikh.
Hingga sekarang islah dalam konteks
organisasi tidak terwujud, bahkan tidak ada upaya pembicaraan kembali
mengenai islah oleh elite-elite NW. Kedua kubu masih berjalan seperti
sebelumnya mengelola organisasi masing-masing.
SIMPULAN
Proses negosiasi islah NW mengalami
jalan buntu sejak pecahnya konflik dan kekerasan antara kedua kubu
1998-2009. Selama konflik pintu negosiasi islah sepertinya sudah
tertutup, kedua kubu berjalan dengan sendiri-sendiri dan tidak mau
menerima mediasi islah baik dari internal elite-elite NW maupun
eksternal pemerintah daerah.
Ruang-ruang konflik yang semakin
melebarke ranah-ranah yang lain tidak hanya di NW tetapi juga di ranah
politik praktis, ikut mempersempit ruang dan prospek islah kedepan.
Sementara islah NW membutuhkan pengorbanan yang cukup besar khususnya
kepentingan-kepentingan dari kelompok elite. Kalau mereka tidak mau
mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompoknya, maka islah NW tidak
mungkin dapat terwujud.
Pro dan kontra islah NW di tahun 2010
merupakan sesuatu yang wajar karena masyarakat dan jamaah NW telah lama
menunggu pencapain islah tersebut. Selama ini negosiasi islah hanya
bersifat wacana tanpa aksi dan realisasi sehingga melahirkan rasa
skeptis dari masyarakat. Jamaah NW mengaku pasrah dengan proses
negosiasi islah dan menyerahkan semuanya kepada kedua pemimpin NW. Tidak
ada angin dan badai tiba-tiba kedua kubu menyosialisasikan kesepakatan
islah yang sarat dengan motivasi kepentingan politik di samping
kepentingan ummat. Ranah politik diambil sebagai media untuk islah
karena ranah-ranah yang lain tidak dapat diterima dan tidak marketable
bagi kedua kubu.
Langkah islah dengan jalan politik
mengindikasikan kalau faktor kekuasaan sangat dominan, di dalam konflik
NW selain faktor ekonomi dan keluarga. Ketika faktor kekuasaan atau
politik yang dominan, maka jalan islah yang ditempuh harus melalui jalur
politik atau sharing kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh elite-elite NW
untuk merekonstruksi proses islah di jalur politik sudah tepat.
Elite-elite NW tidak memiliki banyak pilihan pendekatan untuk islah.
Saya berpendapat bahwa konflik NW harus diselesaikan melalui jalur
politik dan sharing kekuasaan karena dominasi faktor itu terhadap
konflik NW. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan strategi dan
pendekatan yang dilakukan untuk islah, yang penting islah dapat
dilaksanankan secara berkelanjutan. Pilihan transaksi politik sebagai
jaminan islah NW bukan tanpa risiko, seandainya Sakti gagal kemungkinan
besar islah NW akan mengalami kegagalan.
Kekuatiran banyak pihak atas langkah
elite-elite NW dengan menyandera islah dalam transaksi politik
memperlihatkan tanda-tanda kebenaran. Hingga sekarang belum ada lagi
upaya islah NW secara organisasi pasca kakalah Sakti pada putaran kedua
Pilkada Lombok Tengah. Padahal elit-elit NW dari kedua kubu telah
berkomitmen untuk menyatukan kepengurusan NW dalam satu komando.
Sebagian elit-elit yang tidak setuju dengan islah NW membuat dalih, jika
islah NW sekarang ini hanya pada tataran keluarga, bukan pada tataran
organisasi. Sementara organisasi NW tidak bisa dipisahkan dengan
keluarga Syaikh. Ketika kedua putri Syaikh (Rauhun dan Raihanun) sudah
islah, maka semua lapisan di bawahnya harus ikut islah. Namun fakta di
lapangan sangat berbeda karena elite-elite di bawahnya menilai apa yang
mereka lakukan adalah bagian dari islah NW dalam konteks keluarga bukan
organisasi. Dengan demikian islah NW belum tuntas dan konflik NW akan
menjadi bom waktu yang akan siap meledak setiap saat. Momentum-momentum
politik akan menguji kembali apakah NW akan islah secara organisasi atau
sebaliknya tetap mempertahankan konflik. Gesekan massa sangat
dikuatirkan terjadi kembali seandainya is lah secara organisasi tidak
segera direalisasikan. Ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh
elite-elite NW dalam rangka melanjutkan proses islah organisasi.
Pertama, pemimpin kedua kubu NW segera melakukan Muktamar islah untuk
memilih pemimpin NW yang baru yang lebih legitimate dan bersih dari
sejarah konflik. Muktamar islah ini penting dilakukan dalam rangka
memutus mata rantai konflik dan pro-kontra terhadap kepengurusan NW
sebelumnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kepengurusan NW di
kedua kubu sekarang ini adalah produk konflik.
Kedua, calon pemimpin NW yang baru harus
mampu mengakomodasi kepentingan kedua kubu NW secara berimbang dan adil
sehingga tidak memunculkan resistensi dari salah satu kubu. Formasi
kepengurusan harus diisi dengan jumlah yang sama dari kedua kubu. Dengan
demikian tidak ada kubu yang dominan terhadap kubu yang lain. Ketiga,
melakukan modernisasi NW di semua bidang termasuk sistem kepengurusan,
rekruktmen dan adminsitrasi organisasi. Dengan modernisasi organisasi
ini diharapkan dapat meminimalisasi potensi kon flik di kalangan
elite-elite NW akibat penyimpangan aturan organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar