Rabu, 08 Oktober 2014

Preview Buku "Sang Maulana" oleh Muhammad Zulkarnaen



MENGENANG era pra kemerdekaan Republik Indonesia. Hidup di dunia ini terasa tidak begitu bermakna. Tekanan dan paksaan dari para penjajah menjadi empedu yang selalu dirasakan setiap hari oleh masyarakat Indonesia. Kerja keras hanya akan memberikan keuntungan bagi para penjajah. Hasil kerja terkadang tak diupah sehingga tidak ada penghasilan yang dibawa pulang ke rumah. Menentang perintah dari para penjajah sama artinya dengan mencari mati.
Kehadiran seorang pembawa perubahan selalu dinanti oleh semua penduduk negeri, tak terkecuali oleh masyarakat Rinjani. Animisme, kebodohan, serta kemiskinan menjadi pemandangan yang tak mengenakkan. Kapankah masyarakat bisa keluar dari masa pahit ini? Tak seorangpun dapat mengetahuinya.
Pada tahun 1910, seorang ulama’ bernama Syaikh Ahmad Rifa’i datang di dalam mimpi salah se­orang tokoh agama di Pulau Lombok bernama Tuan Guru Abdul Madjid. Kedatangan ulama’ dari Maghrabi ini membawa berita gembira. Berita yang membuat Tuan Guru Abdul Madjid tersenyum dan menampakkan wa­jah yang ceria. Betapa tidak! Orang yang membawa berita itu merupakan seorang wali Allah yang kata-katanya dipastikan mengandung unsur kebenaran.
Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi seorang ulama’ besar.” Begitulah isi berita yang dibawa oleh ulama’ tersebut.
Berita yang dibawa ini memberikan secercah harapan yang telah lama dimimpikan. Ucapan syukur tak henti-henti-nya keluar dari bibir Tuan Guru Abdul Madjid dan istrinya, Hajjah Halimatussa’diyah yang saat itu sedang mengandung.
Berita gembira itu semakin terlihat kebenarannya saat anak itu pulang dari studinya di Madrasah Shaulatiyah, Mak­kah. Siapakah anak yang dimaksudkan itu? Ia adalah Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau lebih dikenal dengan panggilan Syaikh Zainuddin. Tokoh Islam yang telah banyak membawa perubahan di Lombok.
Sepulangnya menuntut ilmu dari para ulama’ terkemuka di kota kelahiran Nabi Muhammad saw. Ia langsung membuat perubahan yang sangat membanggakan. Pelan tapi pasti, masalah kebodohan menjadi berkurang. Pen­didikan formal dapat dinikmati oleh setiap orang.
Dalam waktu yang relatif singkat, Ia mampu mendirikan puluhan madrasah yang tersebar di seluruh Pulau Lombok. Meski demikian, jalan yang dilalui tidak semulus jalan tol. Berbagai cobaan dan ujian silih berganti datang mengham­piri. Tantangan tidak hanya berasal dari kaum penjajah tapi juga dari masyarakatnya sendiri. Namun, dengan kesabaran, keyakinan, keikhlasan, dan ke istiqomahan yang Ia jalankan. Semua badai yang menerjang selalu mampu dihadang sehing­ga mejadikannya sebagai seorang pemenang.
Disamping membangun lembaga pendidikan, Ia juga aktif mengajak masyarakat untuk mendirikan dan memak­murkan masjid. Kiprahnya ini membuatnya digelari “abul madaaris wal masaajid,” bapak dari madrasah-madrasah dan masjid-masjid. Tidak hanya itu. Ia juga mendirikan panti asu­han untuk menampung anak-anak yatim sebagai bentuk per­hatian kepada mereka.
Aktivitasnya dalam membangun ummat terus menerus dilakukan sampai Ia benar-benar sudah tidak bisa bergerak. Suatu ketika, karena faktor usia, Syaikh Zainuddin mengalami sakit yang menurut diagnosa dokter, usianya tidak akan lama lagi. Dokter itupun kemudian meminta kepada Syaikh Zai­nuddin untuk beristirahat di rumah dan menghentikan aktivi­tasnya mengajar. Namun, Syaikh Zainuddin menolak saran dokter tersebut.
Saya lebih baik meninggal saat mengajar daripada ketika berbaring di tempat tidur.” Ujar Syaikh Zainuddin.
Tanpa bisa berkata-kata, dokter itupun tidak bisa me-larangnya untuk berhenti mengajar. Hari demi hari Ia lewati dengan aktivitas seperti biasa: mengajar. Diagnosa dokter itu terbilang meleset. Selama mengajar, kesehatan Syaikh Zainud­din justru mengalami peningkatan.
Ketika Syaikh Zainuddin sedang istirahat di rumahnya. Ia ditemui oleh salah seorang masyarakat, tetangga dari dokter yang beberapa hari yang lalu datang mengobatinya. Kedata­ngannya menghadap kepada Syaikh Zainuddin untuk mem­beritahu bahwa dokter yang memprediksinya akan segera meninggal itu, telah meninggal dunia. Syaikh Zainuddin tersontak kaget seraya mengucapkan innalillahi wainna ilaihi­raajiuun.

Saya ingin seperti matahari yang selalu terus berputar dari timur ke barat. Bukan saja dalam waktu 24 jam, tetapi berjuta-juta kurun zaman dan tidak pernah terlambat satu menitpun”
ditulis oleh: Muhammad Zulkarnaen

Tidak ada komentar: