
MENGENANG
era pra kemerdekaan Republik Indonesia. Hidup di dunia ini terasa tidak begitu
bermakna. Tekanan dan paksaan dari para penjajah menjadi empedu yang selalu
dirasakan setiap hari oleh masyarakat Indonesia. Kerja keras hanya akan
memberikan keuntungan bagi para penjajah. Hasil kerja terkadang tak diupah
sehingga tidak ada penghasilan yang dibawa pulang ke rumah. Menentang perintah
dari para penjajah sama artinya dengan mencari mati.
Kehadiran
seorang pembawa perubahan selalu dinanti oleh semua penduduk negeri, tak
terkecuali oleh masyarakat Rinjani. Animisme, kebodohan, serta
kemiskinan menjadi pemandangan yang tak mengenakkan. Kapankah masyarakat bisa
keluar dari masa pahit ini? Tak seorangpun dapat mengetahuinya.
Pada
tahun 1910, seorang ulama’ bernama Syaikh Ahmad Rifa’i datang di dalam mimpi salah
seorang tokoh agama di Pulau Lombok bernama Tuan Guru Abdul Madjid. Kedatangan
ulama’ dari Maghrabi ini membawa berita gembira. Berita yang membuat Tuan Guru
Abdul Madjid tersenyum dan menampakkan wajah yang ceria. Betapa tidak! Orang
yang membawa berita itu merupakan seorang wali Allah yang kata-katanya
dipastikan mengandung unsur kebenaran.
“Akan
segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi
seorang ulama’ besar.” Begitulah isi berita yang dibawa oleh ulama’
tersebut.
Berita
yang dibawa ini memberikan secercah harapan yang telah lama dimimpikan. Ucapan
syukur tak henti-henti-nya keluar dari bibir Tuan Guru Abdul Madjid dan
istrinya, Hajjah Halimatussa’diyah yang saat itu sedang mengandung.
Berita
gembira itu semakin terlihat kebenarannya saat anak itu pulang dari studinya di
Madrasah Shaulatiyah, Makkah. Siapakah anak yang dimaksudkan itu? Ia adalah
Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau lebih dikenal dengan panggilan
Syaikh Zainuddin. Tokoh Islam yang telah banyak membawa perubahan di Lombok.
Sepulangnya
menuntut ilmu dari para ulama’ terkemuka di kota kelahiran Nabi Muhammad saw.
Ia langsung membuat perubahan yang sangat membanggakan. Pelan tapi pasti,
masalah kebodohan menjadi berkurang. Pendidikan formal dapat dinikmati oleh
setiap orang.
Dalam
waktu yang relatif singkat, Ia mampu mendirikan puluhan madrasah yang tersebar
di seluruh Pulau Lombok. Meski demikian, jalan yang dilalui tidak semulus jalan
tol. Berbagai cobaan dan ujian silih berganti datang menghampiri. Tantangan
tidak hanya berasal dari kaum penjajah tapi juga dari masyarakatnya sendiri.
Namun, dengan kesabaran, keyakinan, keikhlasan, dan ke istiqomahan yang Ia
jalankan. Semua badai yang menerjang selalu mampu dihadang sehingga
mejadikannya sebagai seorang pemenang.
Disamping
membangun lembaga pendidikan, Ia juga aktif mengajak masyarakat untuk
mendirikan dan memakmurkan masjid. Kiprahnya ini membuatnya digelari “abul
madaaris wal masaajid,” bapak dari madrasah-madrasah dan masjid-masjid.
Tidak hanya itu. Ia juga mendirikan panti asuhan untuk menampung anak-anak
yatim sebagai bentuk perhatian kepada mereka.
Aktivitasnya
dalam membangun ummat terus menerus dilakukan sampai Ia benar-benar sudah tidak
bisa bergerak. Suatu ketika, karena faktor usia, Syaikh Zainuddin mengalami
sakit yang menurut diagnosa dokter, usianya tidak akan lama lagi. Dokter itupun
kemudian meminta kepada Syaikh Zainuddin untuk beristirahat di rumah dan
menghentikan aktivitasnya mengajar. Namun, Syaikh Zainuddin menolak saran
dokter tersebut.
“Saya
lebih baik meninggal saat mengajar daripada ketika berbaring di tempat tidur.”
Ujar Syaikh Zainuddin.
Tanpa
bisa berkata-kata, dokter itupun tidak bisa me-larangnya untuk berhenti
mengajar. Hari demi hari Ia lewati dengan aktivitas seperti biasa: mengajar.
Diagnosa dokter itu terbilang meleset. Selama mengajar, kesehatan Syaikh Zainuddin
justru mengalami peningkatan.
Ketika
Syaikh Zainuddin sedang istirahat di rumahnya. Ia ditemui oleh salah seorang
masyarakat, tetangga dari dokter yang beberapa hari yang lalu datang
mengobatinya. Kedatangannya menghadap kepada Syaikh Zainuddin untuk memberitahu
bahwa dokter yang memprediksinya akan segera meninggal itu, telah meninggal
dunia. Syaikh Zainuddin tersontak kaget seraya mengucapkan innalillahi
wainna ilaihiraajiuun.
“Saya ingin seperti matahari yang selalu
terus berputar dari timur ke barat. Bukan saja dalam waktu 24 jam, tetapi
berjuta-juta kurun zaman dan tidak pernah terlambat satu menitpun”
ditulis oleh: Muhammad Zulkarnaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar