source: http://sinarharapan.co |
Dari sisi eksternal, pelemahan Rupiah dan IHSG ini
dipicu oleh kekhawatiran para pelaku pasar terkait dengan kebijakan bank
sentral AS (the Fed). Rupiah melemah karena penguatan dolar AS setelah pidato
Fisher terkait kebijakan moneter AS. Fisher yang menjadi anggota Federal
Open Market Committee (FOMC) menyampaikan pidatonya pada Kamis (25
September ) di Roma, yang mengindikasikan penaikan suku bunga the Fed lebih
cepat dari perkiraan sebelumnya. Dia mengemukakan ada asumsi the Fed akan
menaikkan Fed Rate antara musim semi (sekitar April) dan musim panas
(sekitar Juni) tahun 2015.
Sementara itu, dari sisi internal, selain karena
minimnya sentimen positif dari sisi ekonomi, pelemahan Rupiah akhir pekan lalu
disebabkan oleh situasi politik khususnya terkait dengan pengesahan RUU
Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) pada 25 September kemarin. Kemenangan
kubu Koalisi Merah Putih (KMP) atas RUU Pilkada atas kubu PDIP dan koalisinya
menjadi penyebab pelemahan Rupiah dan jatuhnya IHSG.
Respon pasar yang diterjemahkan oleh pelemahan kinerja
pasar uang dan saham tersebut sejatinya tidak terletak ketidaksetujuannya pada
substansi UU Pilkada. Para pelaku pasar tidak mempermasalahkan apakah Pilkada
dilakukan secara langsung atau dipilih oleh DPRD. Dengan perilaku politik
sebagaimana yang ditunjukkan oleh para politisi (di DPR) dari kedua kubu, para
pelaku pasar melihat adanya prospek hubungan politik yang kurang harmonis
antara DPR (yang saat ini “dikuasai oleh kubu KMP) dengan pemerintahan nanti.
Keraguan inilah yang menyebabkan pelaku pasar merasa tidak yakin bahwa
pergerakan ekonomi di era pemerintahan mendatang akan dapat berjalan dengan
baik.
Pelemahan Rupiah akibat kurang harmonisnya hubungan
politik antara kubu KMP dan kubu PDIP ini sejatinya bukan kali pertama ini.
Kalau dilihat ke belakang, terutama pasca terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sebagai presiden dan wakil presiden 2014-2019, kinerja pasar uang dan saham
cenderung tidak bergerak naik. Terbukti, sejak Pemilu 9 Juni lalu, nilai tukar
Rupiah cenderung melemah. Pada 9 Juni (saat Jokowi-JK) dinyatakan menang oleh
lembaga survey) kurs Rupiah (jual) berada di level Rp11.849 per dollar AS,
namun saat ini sudah berada di level Rp12.067 per dollar AS. Kondisi ini
sepertinya bertolak belakang dengan “kelaziman” yang selama ini terjadi, dimana
pasca terpilihnya presiden baru pasar uang dan saham, terutama IHSG, bergerak
positif.
Kondisi politik seperti ini tentunya tidak
menguntungkan bagi situasi ekonomi ke depan. Kondisi politik yang tidak
kondusif tentunya akan menambah beban bagi prospek Rupiah ke depan. Dari sisi
ekonomi, saat ini baik dari sisi internal maupun eksternal sudah minim sentimen
positif yang bisa mengangkat Rupiah untuk bergerak naik secara signifikan.
Kebutuhan valuta asing di dalam negeri dalam beberapa bulan terakhir dan ke
depan ini cukup tinggi, seperti untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) yang
jatuh tempo.
Sebagai gambaran, per April 2014 lalu, jumlah ULN
jangka pendek (<1 tahun) Indonesia menurut jangka waktu asal mencapai
US$46,9 miliar atau sebesar 16,97 persen bila dibandingkan dengan total
ULN-nya. Sementara itu, jumlah ULN jangka pendek (<1 tahun) Indonesia
menurut jangka waktu sisa mencapai US$53,9 miliar atau sebesar 19,50 persen
bila dibandingkan dengan total ULN-nya. Per April 2014, rasio ULN jangka pendek
(<1 tahun) Indonesia terhadap cadangan devisa menurut jangka waktu asal
sebesar 44,45 persen dan menurut jangka waktu sisa sebesar 51,08 persen.
Tidak hanya karena ULN yang tinggi, potensi pelemahan
nilai tukar Rupiah juga dapat muncul karena kinerja neraca perdagangan dan
neraca transaksi berjalan Indonesia yang belum kunjung membaik sejak dua tahun
terakhir ini. Di sisi lain, sektor fiskal kita juga telah terbaca oleh para
pelaku pasar uang bahwa APBN kita memiliki problem yang cukup besar terkait
dengan beban subsidi energi. Di sisi lain, dinamika eksternal seperti kebijakan
the Fed, perkembangan di Eropa dan Asia lainnya (terutama Tiongkok) juga
berpotensi memperlemah posisi Rupiah. Dengan melihat situasi ekonomi yang tidak
menguntungkan ini, semestinya jangan lagi ditambah dengan beban baru yang berasal
dari politik.
Pemerintahan baru akan menghadapi tantangan ekonomi
yang tidak ringan. Perkembangan terbaru, diperkirakan bahwa begitu pemerintahan
baru terbentuk, tidak terlalu lama pemerintah akan mengambil kebijakan untuk
menaikan harga BBM. Secara ekonomi, kebijakan kenaikan harga BBM ini positif
untuk menyehatkan APBN. Namun, bila kebijakan ini tidak mendapat dukungan
politik yang luas (masyarakat dan DPR), justru dapat berpotensi menimbulkan
instabilitas, yaitu instabilitas politik yang dapat berimbas menjadi
instabilitas ekonomi.
Dengan melihat peta kekuatan politik saat ini, saya
berpendapat bahwa politik “mau menang di segala hal” seharusnya diakhiri. Kubu
PDIP dan koalisinya sudah pasti akan memegang kendali pemerintahan. Kubu KMP,
bila melihat hasil pada G25-S kemarin, akan memegang kendali DPR. Peta politik
seperti ini mirip dengan situasi di AS, dimana kubu Demokrat memegang kekuasaan
eksekutif dan kubu Republik memegang kendali di Senat. Dan kita sudah melihat
bahwa kekurangharmonisan antara kubu Demokrat dan Republik membuat perjalanan
pemulihan ekonomi AS berjalan sangat lambat dan mahal ongkosnya. Tentunya, kita
tidak ingin hanya karena politik kemudian ekonomi dikorbankan.
“Pertikaian” politik sebagaimana ditunjukkan dalam
pilpres dan G25-S antara kubu KMP dan kubu PDIP harus dihentikan. Semua pihak
harus menghormati keputusan politik yang ada. Kubu KMP harus menghormati bahwa
Jokowi-JK adalah pemenang sah pilpres kemarin. Karenanya tidak boleh ada lagi
upaya untuk mengganggu proses politik terkait dengan hasil pilpres tersebut.
Kubu PDIP juga harus menerima keputusan DPR yang memenangkan kubu KMP terkait
dengan RUU Pilkada. Tak perlu lagi ada manuver non konstitusional untuk tidak
mengakui hasil dari proses politik di DPR tersebut.
Ke depan, yang perlu dibangun adalah membangun
kesepahaman antara pemerintah dan DPR. Saling menerima dan mau berbagi adalah
kunci untuk menciptakan stabilitas politik. Dan stabilitas politik sangat
penting untuk menopang stabilitas ekonomi, yang biasanya terlihat dari rekam
jejak nilai tukar Rupiah.
Nilai tukar Rupiah yang stabil memang bukan segalanya.
Namun, tentu kita belum lupa bahwa gara-gara instabilitas nilai tukar, ekonomi
kita pernah ambruk di 1997/98. Pastinya kita tidak ingin situasi ini terulang
kembali, di saat ekonomi kita sedang menikmati bulan madu “demographic
dividend” dan pertumbuhan kelas menengah yang cukup baik. Jadi, jangan
anggap kecil nilai tukar Rupiah! ***
*)Artikel ini telah dimuat harian REPUBLIKA,
Senin, 29 September 2014 halaman 1. Sunarsip adalah Ekonom The Indonesia
Economic Intelligence (IEI).
Sumber: Sunarsip.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar