Masyarakat
Sasak, etnis asli yang mendiami Pulau Lombok sebagian besar memeluk agama
Islam. Sebelumnya penduduk setempat menganut kepercayaan Sasak Boda, yakni
kepercayan animisme dan panteisme dimana pemujaan dilakukan terhadap roh-roh
leluhur dan dewa-dewa lokal. Kemudian Islam dibawa masuk oleh para pendatang Makassar
dan Jawa pada abad ke-16.
Saat itu,
Lombok terpecah menjadi tiga golongan berdasarkan kepercayaan yang dianut,
yakni Sasak Boda, Islam lima waktu, dan Islam yang dibawa oleh Sunan Perapen
yang kemudian ajarannya dikenali dengan sebutanWetu Telu. Hingga saat
ini, golongan Islam Wetu Telu masih bertahan. Ini adalah kepercayaan orang
Sasak yang menganut agama Islam tapi masih mempraktikan ritual-ritual agama
Hindu, Buddha dan animisme.
Penyebaran
Wetu Telu sekira 1 persen di seluruh wilayah Lombok, diantaranya terdapat di
beberapa desa di Kecamatan Bayan, Lombok Utara seperti Loloan, Anyar,
Akar-Akar, dan Mumbul Sari serta dusun-dusunnya memusat di Senaru, Barung
Birak, Jeruk Manis, DasanTutul, Nangka Rempek, Semokan dan Lendang Jeliti.
Istilah
Wetu Telu juga sering dikaitkan dengan makna waktu tiga, artinya, dalam hidup
ini terdapat tiga waktu kemunculan yaitu melahirkan (manganak), bertelur
(menteluk) dan berbiji (mentiuk). Tiga sistem reproduksi
tersebut digambarkan di dalam Masjid Kuno Bayan melalui sebuah patung kayu atau
disebut Paksi Bayan. Budaya Wetu Telu mempengaruhi masyarakat Bayan dalam
bertindak. Hidup pada dasarnya memiliki siklus kelahiran, beranak pinak dan
kematian. Mereka percaya bahwa saat memasuki status yang lebih tinggi, haruslah
dilaksanakan ritual tertentu yang dapat menghindari mereka dari
gangguan-gangguan hidup.
Penganut
Wetu Telu sangat menjaga warisan leluhur seperti rumah, tanah maupun benda
pusaka lain. Karena menurut kepercayaan akan ada bencana jika tidak menjaganya.
Mereka pun masih mendokumentasikan garis silsilah keluarga pada lembaran lontar
dengan huruf Jawa Kuno yang hanya boleh dibaca oleh tokoh adat dan dibacakan
pada saat-saat tertentu.
Dalam
melaksanakan Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Bayan pun memiliki prosesi
tersendiri. Mereka menggelar upacara Lebaran Tinggi diikuti shalat Ied yang
hanya boleh diikuti kiai saja. Akan tetapi, bukan berarti masyarakat awam tidak
terlibat di sini, mereka mendukung terselenggaranya Lebaran Tinggi dengan
membuat ancak sebagai persiapan ritual, membuat makanan dan sebagainya. Dengan
kata lain, Lebaran Tinggi tidak akan berlangsung lancar tanpa peran dari
masyarakat awam.
Tradisi
lain adalah upacara dalam kegiatan bertani mengingat mayoritas masyarakat Bayan
hidup dengan mata pencaharian bertani. Ada ritual siklus bonga padi yang
dilaksanakan secara besar-besaran, ngaji makam turun bibit saat bercocok tanam,
juga ngaturang ulak kaya saat panen.
Jika
ingin menyaksikan langsung bagaimana kehidupan tradisional masyarakat Bayan,
Anda bisa bergabung dengan tur-tur yang memadukan wisata alam dengan wisata
budaya Lombok, diantaranya Dina Setya Rahma Tour and Travel (021-4705165)
ataupun melalui Merak Wisata Indonesia yang menawarkan kegiatan bersepeda ke
Hutan Pusuk Lombok, Sekotong dan singgah sejenak di area Lingsar untuk
mengunjungi Pura Wetu Telu.
Sumber: Indonesia Travel
Sumber: Indonesia Travel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar