Sumber: HidayatullahBlog
A. PENDAHULUAN
Untuk mencoba mengatasi persoalan pendidikan di dunia Islam, menurut Hasan Langgulung, telah hadir tiga pola pemikiran : pertama, pola pemikiran pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern di Barat; kedua, pola pemikiran yang berorientasi dan bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran Islam; Ketiga, pola pemikiran yang berorientasi pada kekayaan dan sumber daya bangsa masing-masing dan bersifat nasionalisme. [1]
Sejalan dengan upaya kaum muslimin di berbagai
belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia yang hingga sekarang terus berusaha
berbenah diri dalam bidang pendidikan, Nahdlatul Wathan juga sudah cukup lama
ikut mengambil bagian memikirkan persoalan pendidikan bagi masyarakat,
khususnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Keikutsertaan dan kepedulian
Nahdlatul Wathan dalam memikirkan dan menangani masalah pendidikan yang
dihadapi masyarakat Lombok itu tampaknya didorong oleh rasa tanggungjawab dan
dihadapkan dengan realitas umat Islam di daerah tersebut masih jauh tertinggal
dalam bidang pendidikan.
Kehadiran Nahdlatul Wathan sebagai organisasi sosial
keagamaan yang bergerak dalam berbagai bidang, utamanya bidang pendidikan,
berawal dari gagasan dan pemikiran Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid untuk mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah, disingkat
NWDI, [2] dan
Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah, di singkat NBDI, sehingga nama Nahdlatul
Wathan sebagai organisasi diambil dari dua kata pertama nama NWDI tersebut.
Keberadaan awal Nahdlatul Wathan dengan dua
Madrasahnya itu bermaksud untuk mengubah dan memperbaiki kondisi, prinsip
belajar mengajar, dan cara berpikir masyarakat Lombok dalam bidang pendidikan
yang sudah cukup lama dipraktekkan, sehingga tidak membawa perubahan kea rah
kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan.
Menurut pemikiran Nahdlatul Wathan, kunci utama
untuk mengubah kondisi masyarakat dan cara meraih kemajuan bagi ummat Islam
adalah melalui upaya perubahan prinsip belajar mengajar dan cara berpikir
dengan memperbaiki system pendidikan, sehingga dapat dihasilkan lulusan yang
berkemampuan tinggi dan memiliki semangat juang yang dilandasi oleh iman dan
taqwa. Karena itu, menurutnya, mengembangkan Islam melalui pendidikan adalah “Fardlu
‘Ain” dan merupakan tugas mulia. Diharapkan melalui pendidikan akan
lahir manusia-manusia yang mampu mengembangkan diri dan keluarga serta
masyarakat bangsanya.
Karena itu, untuk mencapai cita-cita tersebut memerlukan
perjuangan dan keikhlasan serta usaha yang sungguh-sungguh dibarengi dengan
kesabaran.[3] Harapan
tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 3. Pemikiran pendidikan Nahdlatul Wathan banyak
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan tokoh utamanya yang cukup lama
belajar di Negara Timur Tengah, Saudi Arabia. Walaupun demikian, Nahdlatul
Wathan tidak menutup diri terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Hingga sekarang,
organisasi ini telah banyak menunjukkan prestasi dan dedikasinya dalam
mengemban tugas kemanusiaan tersebut.
Kata kuncinya : Mengapa pendidikan
Nahdlatul Wathan dapat terlaksana dan berjalan di Lombok NTB serta
keberadaannya tetap eksis di tengah-tengah persaingan pendidikan yang demikian
ketat hingga sekarang ?
1. Nahdlatul Wathan lahir di NTB
Organisasi ini lahir bertujuan mencerdaskan
masyarakat dari segala bentuk keterbelakangan, baik dalam bidang pendidikan,
ekonomi, maupun agama.di Nusa Tenggara
Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi dengan penduduk mayoritas beragama
Islam. Dari sekitar lima juta jiwa (4,3 juta pada 2007), pemeluk agama Islam di
provinsi ini mencapai 80 persen.Besarnya jumlah pemeluk Muslim di provinsi
penghasil palawija ini tak lepas dari penyebaran agama Islam yang dilakukan
oleh para ulama besar dari daerah ini. Salah satu tokoh ulama yang sangat
berpengaruh dan berjasa besar dalam menyebarkan Islam di NTB adalah Tuan Guru
KH (TGKH) Muhammad Zainuddin bin Abdul Majid. Beliau adalah pendiri organisasi
Nahdlatul Wathan (pergerakan atau kebangkitan tanah air) Di Lombok, tepatnya di
daerah Pancor, nama TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid begitu populer. Tak
saja sebagai tokoh ulama yang paling disegani, tapi juga karena kepeloporan
beliau dalam mengangkat masyarakat setempat dengan lembaga pendidikan Nahdlatul
Wathan (NW).
Melalui organisasi ini, bersama dengan sebagian
besar alumni yang menuntut ilmu di pondok pesantren Nahdlatul Wathan, Tuan Guru
Zainuddin meningkatkan pengetahuan masyarakat Lombok (khususnya) dari
ketertinggalan dan keterbelakangan, baik dalam hal pendidikan maupun ekonomi. Sesuai
dengan namanya, Nahdlatul Wathan berarti kebangkitan tanah air (bangsa).
Tujuan utamanya adalah agar bangsa Indonesia khususnya NTB bangkit dari segala
kekurangan dan keterbelakangan. Organisasi ini bergerak dalam bidang
pendidikan, sosial, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Organisasi NW
ini berdiri pada 25 Agustus 1937. Awal mulanya, sebelum mendirikan NW,
Tuan Guru Zainuddin mendirikan
Pesantren Al-Mujahidin, Madrasah Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), dan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah
(NBDI). Pesantren Al-Mujahidin didirikan di Kampung Bermi Pancor pada 1934,
tiga bulan setelah kembali dari Makkah. Pendirian pesantren ini didorong oleh
keinginan beliau untuk memajukan masyarakat di Pulau Lombok, yang pada masa itu
masih berada dalam kebodohan dan keterbelakangan akibat tekanan pemerintah
kolonial Belanda. Karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam,
diperlukan adanya lembaga pendidikan untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
Kemajuan yang dicapai oleh pesantren ini menyulut
kecemburuan sejumlah pihak. Akibatnya, banyak wali santri yang memanggil
putra-putrinya untuk tidak bersekolah di lembaga ini. Bahkan, pada 1934, di
Pesantren Mujahidin hanya tersisa sekitar 50 orang santri. Namun, hal itu tidak
menyurutkan langkah Tuan Guru Zainuddin untuk mendidik putra-putri Lombok
menjadi orang yang pandai dan berpendidikan. Oleh karena itu, bertepatan pada
15 Jumadil Akhir 1356 Hijriah atau 22 Agustus 1937 Masehi, berdirilah Madrasah
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). [4]
2. Konteks dan Latar Belakang Pendirian
Organisasi ini bertujuan membebaskan masyarakat
dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan. Penduduk Nusa
Tenggara Barat (NTB) jumlahnya mencapai lima juta jiwa. Mayoritas penduduknya
memeluk agama Islam. Hal ini tak lepas dari kontribusi yang dilakukan oleh para
tokoh agama setempat untuk mengenalkan agama Islam pada penduduknya.
Salah satu tokoh ulama dan kharismatik yang
menyebarkan agama Islam di Propinsi NTB adalah Tuan Guru Kiai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid (Tuan Guru Pancor). Ulama asal Pancor, Lombok Timur, ini
merupakan tokoh yang paling disegani. Pasalnya, peranan pendiri Nahdlatul
Wathan (NW) ini sangat besar dalam mencerdaskan masyarakat NTB, khususnya
Lombok Timur, dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1356 Hijriah atau bertepatan
dengan 22 Agustus 1937, Tuan Guru Pancor mendirikan organisasi Nahdlatul
Wathan. Tujuan berdirinya organisasi ini adalah memberantas kebodohan yang ada
di masyarakat akibat penjajahan kolonial Belanda.
Kini, usia organisasi NW telah mencapai 75 tahun.
Dalam usianya itu, sudah banyak kontribusi yang diberikan NW kepada masyarakat,
khususnya di NTB. Sedikitnya ada 16 lembaga pendidikan yang dikelola oleh
yayasan Nahdlatul Wathan. Mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Jumlah muridnya kini mencapai puluhan ribu orang. Tak hanya di NTB, organisasi
yang berpusat di Lombok Timur ini juga menyebar hingga ke-17 propinsi di
Indonesia. NW juga ada di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Riau, Batam, Bali,
Jawa Timur, hingga Jakarta.
Alumninya pun bertebaran di mana-mana.
Masing-masing mendirikan lembaga pendidikan dan memiliki afiliasi dengan
organisasi NW. Tercatat, total lembaga pendidikan yang memiliki afiliasi dengan
organisasi ini mencapai 800 institusi. Tak hanya dalam bidang pendidikan, NW juga
bergerak di bidang sosial, pemberdayaan masyarakat, dakwah, dan ekonomi.
Tujuannya adalah membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan,
keterbelakangan, dan ketertinggalan.[5]
Alumni NW, kini banyak yang duduk di pemerintahan
(eksekutif) dan legislatif.Nahdlatul Wathan telah berdiri sejak 75 tahun silam
(1316-1431 H). Dalam usianya sepanjang itu, sudah banyak kontribusi dan
sumbangan yang diberikan oleh organisasi Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat
(NTB) ini. Tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam bidang sosial,
seperti pendidikan, sosial, dan pemberdayaan masyarakat.Dalam
bidang pendidikan, organisasi yang didirikan oleh Tuan Guru Kiai Haji (TGKH)
Muhammad Zainuddin Abdul Majid ini telah mendidik putra-putra Indonesia, bahkan
kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam,
Singapura, dan lainnya. Mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan
tinggi.Sedikitnya ada 16 lembaga pendidikan yang dikelola Yayasan Pendidikan
Hamzanwadi Pancor, Lombok ini. Lembaga pendidikan itu adalah TK Hamzanwadi
(1981), MI Hamzanwadi (1959), SMP Nahdlatul Wathan (NW) tahun 1974, MTs NW
(1956), MTs Muallimin NW (1936), MTs Muallimat NW (1943), MA Muallimin NW
(1937), MA Muallimat NW (1943), MA Hamzanwadi (1994), MA NW (1959), SMA NW
(1972), SMK NW (2005), STMIK Hamzanwadi (2002), STKIP Hamzanwadi (1978), IAI
Hamzanwadi (1982), dan Ma’had Ali Binaan Khusus (1965).
Total santri yang ada
di yayasan ini berjumlah 16.931 orang.Selain itu, ada juga Universitas
Nahdlatul Wathan Mataram serta Lembaga Silat Nahdlatul Wathan. Semua itu
menunjukkan bahwa organisasi ini sangat mengedepankan bidang pendidikan untuk
mencerdaskan putra-putri bangsa. Sebab, mereka adalah generasi penerus
perjuangan Nahdlatul Wathan (khususnya) dan umat Islam (umumnya).Tak hanya di
wilayah NTB, lembaga pendidikan yang memiliki afiliasi dengan organisasi NW ini
juga tersebar di berbagai provinsi, seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatra,
Riau, Batam, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, dan lainnya.”Kami berharap,
melalui lembaga pendidikan itu, bisa memberikan kontribusi yang besar bagi
pengetahuan putra-putra bangsa,” jelas Tuan Guru Haji Zainul Majdi, cucu dari
pendiri Nahdlatul Wathan.Sejumlah alumni yang lulus dari Nahdlatul Wathan di
Lombok kemudian mengembangkan model pendidikan serupa di daerah asal mereka.
Salah satunya adalah Ustaz Ahmad Zainuddin QH SH. Saat menyelesaikan pendidikan
dari Ma’had Darul Qur’an wal hadis Nahdlatul Wathan di Pancor tahun 2001-2002,
putra asal Toabo, Mamuju, Sulawesi Barat ini, mendirikan pondok pesantren di
kampung halamannya. Ia memberi nama lembaga pendidikannya itu dengan Pondok Pesantren
Darul Abror Nahdlatul Wathan (PPDA NW).”PPDA NW Toabo Mamuju ini merupakan
salah satu lembaga pendidikan yang bergerak di bidang pendidikan sosial dan
dakwah. Awalnya hanya madrasah diniyah biasa yang didirikan pada tahun 1984.
Namun, kemudian kami kembangkan lebih baik lagi,” ujarnya.Kemajuan yang sama
juga dialami sejumlah lembaga pendidikan di daerah lain, seperti Kalimantan
Timur, Batam, Cakung (Jakarta), Riau, Batam, dan lainnya. “Sekarang ini yang
sungguh-sungguh kita kembangkan.[6]
Kini, salah satu kader terbaik NW menduduki
jabatan sebagai orang nomor satu di NTB. Dia adalah Tuan Guru Haji Zainul Majdi.
Tuan Guru Bajang -demikian nama panggilannya- merupakan alumnus Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ia berkomitmen untuk menciptakan NTB sebagai daerah
yang maju. Salah satu upayanya adalah membebaskan masyarakat dari kebodohan.[7]
B. GENEOLOGI INTELEKTUAL PENDIRI DAN PENGAJARNYA
- 1. Silsilah Keluarga Besar Hamzanwadi.
Silsilah HAMZANWADI tidak bisa diungkapkan secara
jelas dan runtut. Tapi banyak orang (sesepuh) mengatakan bahwa keturunan
beliau dari keturunan raja-raja Selaparang ini sesuai dengan analisa Svent
Cdrroth seorang antropologi dari Swedia yang selalu meneropong kegiatan
HAMZANWADI khususnya ketika beliau pergi ke makam Selaparang pada tahun 1971 M.
dan secara terbuka HAMZANWADI juga tidak pernah secara terbuka menolak anggapan
dan pernyataan-pernyataan tentang silsilah keturuan dari kerajaan Selaparang.
- 2. Kelahiran TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid.
Tuan Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Madjid yang
nama kecilnya Muhammad Saggaf dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabi’ul Awwal 1326
H [1904 M], di Kampung Bermi, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur [sekarang
Kecamatan Selong] Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Muhammad Saggaf alias
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang namanya disingkat HAMZANWADI (Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah).
Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita cukup
unik. Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali
yang berasal dari Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut
secara kebetulan namanya sama, yakni Saggaf. Keduanya berpesan kepada
TGH. Abd. Madjid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saggaf.
Sesuai dengan silsilah di atas beliau menikahi
tujuh perempuan yang latarbelakangnya berbeda, dari anak bangsawan sampai anak
orang biasa. Perbedaan ini merupakan sebuah refleksi dari pendidikan ayahnya
yang menginginkan anaknya mampu menghadapi keluarga yang plural. Keluarga ini
menggambarkan masyarakat Lombok yang akan dihadapi sangat majemuk. Dari
tujuh perempuan yang pernah dinikahi ada yang mendampingi beliau sampai wafat
ada juga wafat lebih dahulu semasa hayat HAMZANWADI dan ada juga yang
diceraikan. Selanjutnya dari ketujuh perempuan yang dinikahi hanya mendapat dua
puteri yakni Siti Rauhun dari Hj. Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari
perkawinannya dengan Hj. Rahmatullah. Adapun dari isteri yang lain ia tidak
mendapat keturunan. Dan karena hanya memiliki dua puteri yang bernama Siti
Rauhun dan Siti Raihanun, ia popular dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.
Dari kedua puteri ini juga ia mendapatkan cucu dan keturunan yang akan
melanjutkan tongkat estapet perjuangan yang digagas oleh HAMZANWADI.
- 3. Pendidikan Hamzanwadi.
- a. Pendidikan Lokal
Pengembaraan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni
dengan belajar mengaji [membaca Al-qur’an] dan berbagai ilmu agama lainnya,
yang diajarkan langsung oleh ayahnya, yang dimulai sejak berusia 5 tahun. Baru
setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah
Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya, ia
kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk menuntut ilmu agama yang lebih luas dari
beberapa kyai lokal, antara lain TGH. Syarafudin, TGH. M. Said, dan TG.
Abdullah bin Amaq Dula.
- b. Didikan Di Tanah Suci Makkah
Untuk lebih memperdalam ilmu agama, ayahnya
mengirim TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid untuk belajar di Tanah
Suci Makkah. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
langsung mencari rumah kontrakan di Makkah. Beberapa setelah musim haji usai,
TGH. Abd. Madjid mulai sibuk mencarikan guru buat anaknya. Sampailah pencarian
TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar di lingkaran
tersebut bernama Syeikh Marzuki, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Di
sanalah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid diserahkan untuk belajar.
Ketika ayah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
pulang ke Lombok, ia langsung berhenti belajar mengaji pada Syeikh Marzuki,
karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam
menuntut ilmu selama ini. Namun, ia belum sempat mencari guru, terjadi perang
saudara antara faksi Wahabi dengan kekuasaan Syarief Husein.
- c. Belajar Di Madrasah Al-Shaulatiyah
Dua tahun setelah terjadinya huru hara, TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji
Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak masuk belajar di
madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah.
Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath. Sudah menjadi tradisi, bahwa setiap thullab baru yang
masuk, harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok
bagi thullab baru tersebut. Akhirnya TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid diuji langsung oleh Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, setelah dites ia
kemudian ditempat di kelas III, tapi beliau meminta ditempatkan di kelas II
saja. Selama belajar di Al-Shaulatiyah beliau tekun dalam belajar dan
berdiskusi, juga diakui oleh salah seorang teman sekelasnya Syaik Zakaria
Abdullah Bila, beliau sangat kagum akan kecerdasan dan akhlak TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid.
- d. Guru-Guru
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil
menyelesaikan studinya di madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351 H [193
M] dengan predikat istimewa. Selama belajar di Tanah Suci Makkah TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid telah berguru pada beberapa ulama besar, diantaranya :
Diantara semua guru-guru beliau, TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid hanya paling dekat dengan Maulana al-Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath. Hal ini dikarenakan oleh kapabilitas keilmuan yang
tinggi, metode pembelajarannya cukup variatif dan menyenangkan, dan masih
banyak lagi kekhasan yang dimiliki oleh beliau.
- 4. Kepribadian Hamzanwadi.
Secara fisik TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid memiliki perawakan yang ramping dengan postur tubuh yang tegap. Walau ia
sering becerita bahwa dirinya adalah satu-satunya putera TGH Abd. Madjid yang
berkulit agak gelap dan kerap kali menjadi bahan cemohan saudara-saudaranya
ketika masih kecil, namun gambaran itu sepertinya tidak demikian. Ia memiliki
kulit kuning langsat yang bersih.
Sesampai di kampung halamannya, sepulang dari
Tanah Suci Makkah, aktivitasnya diisi dengan memberikan pengajian di berbagai
tempat, terutama di masjidmasjid dan sekolah-sekolah.. hingga usia tua pun, ia
masih sangat aktif mengadakan pengajian ke daerah-daerah. Kegiatan pengajaran
dimulai sekitar pukul 06.00, di Ma’ahad Darul Qur’an wal Hadits. Sekitar pukul
09.00 ia selanjutnya mengajar di tempat lain.
- 1. Perilaku Terhadap Masyarakat
Metodologi berfikir TGKH. Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dalam fenomena Sasak adalah dengan bercermin pada sejarah Sasak
itu sendiri. Tergambar ia sangat memahami historis Sasak dan tipologi
masyarakatnya. Dari telaah inilah kemudian ia merumuskan pemikiran-pemikirannya
tentang Sasak. Citra sejarah Sasak menurutnya, adalah sebuah perjalanan sejarah
yang menunjukkan pentingnya kedudukan Islam dalam tata kehidupan masyarakat
Sasak. Setidaknya dimulai setelah runtuhnya paham animisme, sehingga tidak
pelak lagi, Islam menjadi sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Sasak.
- 2. Perilaku Terhadap Penjajah
Masuknya Belanda untuk menjajah Pulau Lombok,
juga menjadi perhatian TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sekaligus
menentukan sikapnya terhadap penjajahan secara umum. Sikap ini juga banyak
tertumpu pada pengalaman hidupnya sendiri yang mengalami masa penjajahan
tersebut, baik oleh Belanda, Jepang, Maupun NICA.
Baginya penjajahan, bagaimanapun bentuknya, merupakan
eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang menghalangi seseorang untuk
hidup secara bebas dan merdeka. Sebagai bentuk pertentangannya terhadap
penjajah, ia menempuh berbagai macam cara :
ü Mengerahkan anggota keluarga dan murid-muridnya
untuk maju berperang secara fisik melawan kekuasaan kolonial di Pulau Lombok.
Menolak permintaan Belanda dan Jepang yang mengiginkan agar dirinya menjadi
penasehat kolonial di Lombok. Pandangan pertama dan kedua ini hanya bersifat
diplomatis belaka, dan tidak merupakan sikap yang sebenarnya
ü Mengajak keluarga, murid, dan jamaah Nahdlatul
Wathan untuk membentengi diri dengan do’a agar terpelihara dari kebiadaban
penjajah.
ü Mendirikan madrasah [sekolah] yang bertujuan
membekali murid-muridnya dengan kecakapan-kecakapan ilmiah yang memungkinkannya
untuk menumbuhkan daya piker dan daya nalar, hal ini memiliki arti penting
dalam konteks perlawanan terhadap penjajah.
- 3. Sikap Sebagai Seorang Pejuang
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merumuskan
kehidupannya sebagai sebagai perjuangan dan menegakkan aqidah, sebagaimana
ungkapan terkenal menyebutkan; “Untuk dapat melakukan perjuangan dan menegakkan
aqidah secara sempurna, ia mempersyaratkan adanya suatu kemerdekaan diri
seseorang secara material dari hal-hal yang bersifat duniawi, atau setidaknya
tidak menjadikan diri untuk selalu bergantung dan mengukur suatu aktivitas
secara material. Perfektif tentang kemerdekaan diri berangkat dari bagaimana
seseorang bisa membebaskan diri dari keinginan kehidupan duniawi yang konsumtif
dan hedonis, sehingga jiwanya dapat terbebas dari keinginan tersebut dan
akhirnya akan bermuara pada kebersihan hati”.
C. PERKEMBANGAN NAHDLATUL WATHAN DAN RESPON MASYARAKAT SEKITAR
Perkembangan pendidikan di lingkungan Nahdlatul
Wathan ditandai dengan dibentuknya institusi itu menjadi organisasi sosial
keagamaan yang mempertegas misinya bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan
dakwah sejak 1 Maret 1953. Keberadaan Nahdlatul Wathan sebagai organisasi yang
bergerak dalam tiga bidang tersebut, terutama bidang pendidikan untuk mewadahi
dan mengorganisir segala macam bentuk kebutuhan dan keperluan pengelolaan
lembaga-lembaga tersebut secara profesional.
Selain didorong oleh misi tersebut, menurut salah
satu ketua IPNW (Ikatan Pemuda Nahdlatul Wathan), Fauzan Fuad, pembentukan
Nahdlatul Wathan sebagai organisasi juga tidak lepas dari faktor politik,
setelah Nahdlatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri,
yaitu Partai Nahdlatul ‘Ulama pada tahun 1952.[8] Sementara
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (pendiri Nahdlatul Wathan) yang sejak
tahun 1950 sudah diangkat menjadi konsulat organisasi tersebut untuk wilayah
sunda kecil (Wilayah Bali, NTB, dan NTT) tetap memilih Masyumi sebagai wadah
untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Langkah dan strategi ini diambil seiring
dengan konstelasi politik pada zaman liberal saat itu, sehingga PNI sebagai
saingan politik tidak berdaya mengambil kursi pemerintahan di wilayah NTB, maka
ia dipilih menjadi ketua Badan Penasehat Partai Masyumi Daerah Nusa Tenggara
Barat pada tahun 1952. [9]
Pada tahun 1953 – 1955 Tuan Guru Haji Muhammad
Zainudin menetapkan bahawa organisasi Nahdlatul Wathan menganut kebijakan
“Politik bebas”. Artinya, organisasi ini tidak berafiliasi dengan kekuatan
partai poltik manapun, sehingga iya merestui terbentuknya Partai Nahdlatul
Ulama’, Persatuan Tarbiyah (PERTI) dan Partai Syari’at Islam Indonesia (PSII)
dilombok pada 1953 dan 1954. Namun pada tahun 1955, dengan menimbang “untung
ruginya” dalam berparatai, iya dan organisasi Nahdlatul Wathan memilih
berafiliasi anggota konstituante periode 1955 – 1959 hasil dari pemilihan umum
pertama pada tahun 1955.[10]
Keikutsertaan Nahdlatul Wathan dalam berpartai
dan berpolitik kelihatannya tidak bermaksud untuk menceburkan diri ke dalam
dunia itu secara utuh tetapi justru agar apa yang menjadi program organisasi
tersebut dalam membangun masyarakat melalui pendidikan, kegiatan sosial dan
dakwah dapat berjalan sesuai yang diharapakan.
Di atas telah dikemukakan, bahwa berdirinya
organisasi Nahdlatul Wathan, pada hakekatnya adalah untuk mengemban tugas dan
misi madrasah NDWI dan NBDI. Karena itu dengan keberadaan organisasi tersebut,
maka madrasah-madrsah dan sekolah-sekolah yang merupakan cabang dari NWDI dan
NBDI sejak tahun 1953 dikelolah oleh Nahdlatul Wathan.
Kebutuhan serta hajat masyarakat yang semakin
besar dalam bidang pendidikan, tampaknya merupakan salah satu pendorong bagi
Nahdlatul Wathan untuk terus meningkatkan dan mengembangkan diri dalam
mengelola pendidikan. Pertumbuhan dan perkembanga madrasah dan sekolah
dilingkungan Nahdlatul Wathan terus mengalami peningkatan, baik jumlah jenis
sekolah dan madrasah, tingkat atau jenjang pendidikannya maupun kurikulum yang
digunakan.
Sejalan dengan proses perubahan sosial yang
menjadi, Nahdlatul Wathan sebagai organisasi islam diharapkan sejumlah
tuntutan; bagaimana Nahdlatul Wathan mengembangkan konsep dan pemikiran
pendidikannya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tuntutan masyarakat
kedepan. Dan bagaimana peran yang diambil Nahdlatul Wathan dalam menentukan
langkah-langkah strategisnya dalam rangka memecahkan problem masyarakat
khususnya di lombok, misalnya mengatasi keterbelakangan, pengangguran,
kemiskinan, dan lain-lain.
Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut,
Nahdlatul Wathan diharapkan dengan dua hal yaitu : pertama, perluasan
kemampuan untuk menguasai dan memperluas wawasan keilmuan; dan kedua,
pengembangan dirinya baik secara kelembagaan maupun program agar tetap releven
dengan tuntutan dan semangat jaman tanpa kehilangan identitas yang dimilikinya.
Setelah Nahdlatul Wathan diproklamirkan sebagai
organisasi, khususnya dibidang pendidikan, animo masyarakat untuk menciptakan “aliansi
educative”, mendorog dan merangsang untuk dibangunnya gedung yang nyaman
dan memadai serta memenuhi persyaratan standar, sehingga proses belajar
mengajar dapat berjalan lancar dan sukses. Hal ini ditandai dengan didirikannya
gedung madrasah NWDI pada tanggal 3 September 1951 secara gotong royong,
swadaya masyarakat, sebanyak 10 lokal menambah jumlah kelas yang sudah ada.
Dengan didirikannya gedung tersebut, maka pada
tahun ajaran 1953 sekolah-sekolah lanjutanpun mulai dibuka seperti madrasah
Mu’allimin empat tahun, madrasah Muallimat empat tahun, sekolah menengah islam
(SMI), Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) empat tahun. Madrasah dan sekolah
lanjutan tersebut dibuka dengan tujuan untuk menampung para lulusan Madrasah
Ibtidaiyah enam tahun dan Sekolah Rakyat Negeri (SRN) enam tahun. Kemudian pada
tahun ajaran 1955, guna memenuhi kebutuhan masyarakat, dibidang dakwah dibuka
Madrasah Muballighin dan Madrasah Muballighat, dengan masa study
selama satu tahun. Pendidikan singkat inbi dimaksudkan sebagai upaya membina
kader-kader Nahdlatul Wathan secara khusus menjadi muballigh atau da’i
laki-laki dan perempuan untuk disebarkan kedaera-daerah yang masih dipengaruhi
oleh paham “waktu telu” pendidikan singkat ini berjalan selama
tiga angkatan (tiga tahun) dan ditutup pada tahun keempat. Selanjutnya pada
tahun 1957 dibuka Madrasah Muallimin enam tahun dan Madrasah Mualliman enam
tahun. Berikutnya, pada tahun 1959 Nahdlatul Wathan membuka Madrasah Menengah
Atas (MMA). Pada tahun yang sama, juga dibuaka Madrasah Tsanawiyah enam tahun.
Dan akhirnya, pada tahun itu juga Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) enam
tahun ditingkatkan menjadi PGA lanjutan, yang juga disebut PGAL (Pendidikan
Guru Agama Lengkap) enam tahun.[11] Pelajaran
pada Mu’allimin – Mu’allimat terdiri dari 70% materi agama dan 30% pengetahuan
umum. Sedngkan pada sekolah menengan islam (SMI) terdiri 30% agama dan 70% ilmu
pengetahuan umum. Kemudian materi pelajaran bagi PGAL menyesuaikan atau
berdasarkan rencana kurikilum PGAL negeri.[12]
Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan
dilingkungan Nahdlatul Wathan dari tahun ketahun menunjukkan kemajuan berarti,
tidak hanya ditingkat menengah, tetapi juga ditingkat perguruan tinggi. Hal ini
sebagai bertanda bahwa hajat masyarakat, khususnya di Lombok terhadap
pendidikan semakin besar.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ditingkat pendidikan
tinggi maka Nahdlatul Wathan mendirikan Akademi Paedagogik NW yang secara resmi
dibuka pada tahun 1964. Akademi ini berjalan selama beberapa tahun dipancor
Lombok Timur. Kemudian dipindahkan ke Mataram, ibukota Propinsi NTB pada tahun
1965 Nahdlatul Wathan membuka perguruan tinggi non formal setingkat Akademi
yang khususnya mengaji dan memperdalam kitab-kitab kuning. Perguruan tinggi non
formal diberi nama Ma’had dar alqur’an wa alhadits almajidiyah alsyafi’iyah
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (khusus untuk putra).[13]
Selanjutnya, sekitar Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1974 dibuka
perguruan tinggi nonformal, juga setingkat Akademi khususnya untuk putrid yaitu
Ma’had li al Banat. Perguruan tinggi tersebutmenggunakan kurikulum
dengan perbandingan 90% materi agama dan 10% umum. Lembaga ini dipusatkan di
Pancor kec. Selong Lombok Timur.[14]
- D. Materi Pendidikan
Materi pendidikan merupakan persoalan pokok yang
perlu mendapat perhatian dari para penyelenggara pendidikan, karena ia ikut
menentukan kemana peserta didik hendak dibawa dan diarahkan. Karena itu materi
pendidikan tersebut perlu diprogramkan dan direncanakan berdasarkan perkiraan
atas kebutuhan peserta didik itu sendiri dan kecenderungan masyarakat.
Akan hal nya dengan Nahdlatul Wathan, pada
mulanya materi pendidikan yang diajarkan dilembga-lembaga pendidikan madrasah
yang didirikannya diprogramkan sesuai tingkat kemampuan dan kebutauhan
masyarakat yang dari masa klemasa terus berupaya menyesusikan diri dengan
tuntutan dan kebutuhan jaman, hingga kemudian pada tahun 1950an pemerintah,
dalam hal ini departemen agama, mulai memberlakukan kurikulum disekolah-sekolah
negeri. Sejak itulah pendidikan Nahdlatul Wathan baik secara administrative
maupun substantive, menyatakan apiliasinya kepada kurikulum departemen agama
hingga sekarang.
Untuk mengantisipasi hilangnya identitas sebagai
lembaga pendidikan islam yang selama ini merupakan tempat mengkaji ilmu-ilmu
agama secara serius dan mendalam, maka disamping memberlakukan kurikulum
pemerintah, pimpinan organisasi dan pihak yayasan system kajian kitab-kitab
berbahasa arab (kitab kuning), yang harus diikuti oleh semua siswa maupun siswi
baik untuk tingkat Tsanawiyah maupun tingkat Aliyah yang belajar dilembaga
pendidikan formal tersebut. Ini dapat diamati dari jadwal pembelajaran kitab
kuning berbahasa arab yang secara tetap dipasang dipapan pengumuman
masing-masing sekolah. Jadwal pembelajaran kitab kuning berbahasa arab ii
disusun berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh siswa siswi, lengkap
dengan susunan kitab dan pengasuhannya. Untuk mengetahui kemampuan siswa
terhadap kitab-kitab yang dipelajarinya para ustad mengadakan ujian kitab
setelah menghatamkan satu kitab sebagai persyaratan untuk mempelajari kitab
yang lebih tinggi. Mengenai tempat dan waktu pelaksanaannya pembelajaran kitab
kuning itu tetap dilakukan dimadrasah, hanya waktunya saja yang berbeda dan
sesuai dengan kelas mereka pada saat belajar secara regular. Untuk waktu
belajar regular dengan menggunakan kurikulum pemerintah mulai dari pukul 07.30
– 13.30, sedangkan untuk belajar kitab kuning berbahasa arab mulai dari pukul
14.30 – 17.30 setiap hari kecuali hari ahad sesuai jadwal.[15]
Tujuannya jelas, dengan mengikuti kurikulum pemerintah secara penuh,
dimaksudkan agar mereka dapat mengikuti ujian negeri dan dapat memasuki lembaga
pendidikan negeri bagi yang berminat sehingga dapat mengikuti dan menyesuaikan
diri dengan tuntutan zaman. Sedangkan dengan pembelajaran kitab kuning,
dimaksudkan agar penguasaan terhadap kitab-kitab berbahasa Arab dapat dijamin
terutama bagi mereka yang berkeinginan masuk keperguruan Ma’had Dar
al-Qur’an wa al Hadits li al Banin dan Ma’hadah li al Banat, dan
dengan demikian mereka juga tidak terikat dengan terjemahan yang sudah ada
didalam buku kurikulum. Penerapan system Madrasah ini sebenarnya, disamping
lebih mengefektifkan waktu, tempat, materi pendidikan atau pengajaran juga
bermaksukuntuk mempermudah tehnik pengajaran.
Diatas telah dikemukakan, bahwa dalam anggaran
dasarnya Nahdlatul Wahan menganut ajaran ahl al Sunnah wa al Jamaah ala
madzhab al Imam al Syafi’i. walaupun demikian tidak semua kitab dalam
tradisi Syafi’iyah dijadikan sebagai materi pembelajaran kitab-kitab kuning
berbahasa arab tadi. Namun diseleksi dan dipilih berdasarkan kebutuhan.
Kitab-kitab yang telah ditentukan untuk diajarkan pada prinsipnya
dipertimbangkan berdasarkan keluasan materi atau kandungan kitab dan tingkat
kemudahan kesulitannya. “ibaratnya” (tingkat kemudahan kesulitan bahasanya)
disesuaikan dengan tingkat kemampuan nalar siswa-siswi. Kitab-kitab mukhtashar
atau yang kajiannya singkat, tidak terlalu luas, biasanya dijarkan
tyerlebih dahulu, kemudian meningkatkan pada kitab syarh atau kitab yang
cakupannya lebih luas, dan demikian seterusnya.
Dalam kebijakan selanjutnya, kitab-kitab dasar
yang diajarkan ditingkat Tsanawiyah dan tingkat Aliyah ketentuan kitab-kitabnya
ditetapakan atau diputuskan oleh pihak pemimpin Madrasah kemudian
dikonsultasikan dengan pihak yayasan dan pimpinan organisasi lalu disesuaikan
dengan jenjang kelas dan tingkat pendidikan.
Kalau pada materi kurikulum pemerintah dalam hal
ini departemen agama, tiap mata pelajaran baik untuk tingkat Tsanawiyah maupun
aliyah menggunakan buku paket yang biasanya terdiri dari buku I,II,dan III,
harus selesai pembahasan materinya sesuai alokasi waktu yang telah ditetapkan,
maka untuk pelajaran kitab-kitab kuning berbahasa Arab itu ditekankan kepada
pemahaman kitab yang dipelajari secara utuh dengan maksud memberikan kemampuan
dalam memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Untuk lebih jelasnya, secara garis besar dapat
dikemukakan materi-materi pendidikan yang diterapkan berdasarkan kurikulum
pemerintah (departemen agama) secara reguler di Madrasah-madrasah Nahdlatul
Wathan dan materi pendidikan ekstra yang diterapkan berdasarkan ketentuan
lembaga pendidikan organisasi itu adalah sebagai berikut :
- 1. Materi Aqidah
Materi pendidikan aqidah dan akhlak dalam
kurikulum departemen agama yang diberlkukan untuk seluruh Madrasah Tsanawiyah
dan Aliyah se-Indonesia digabung menjadi satu paket. Alasannya adalah karena
keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Tanpa aqidah,
akhlak tidak memiliki sandaran, dank arena tu akan runtuh. Sementara aqidah
tanpa akhlak hanya akan menggantung dan hanya sebatas teori.[16]
- 2. Materi Akhlaq
Ilmu Akhlak dapat dibedakan antara akhlak
teoretis dan akhlak praktis. Aspek teoretis ilmu akhlak tertuju pada kajian
tentang esensi baik dan buruk, penetapan kaidah-kaidah perilaku, ukuran-ukuran
perbuatan,dan kajian tentang dhamir manusia, hakikat dan gejala
gejalanya,atau kajian tentang pendefinsiantujuan hidup manusia dalam rangka
kecapaian kesempurnaan dan kebahagiaan. Sedangkan aspekpraktis ilmu akhlak
terfokus pada implmentasiaspek teoretis dalam kehidupan nyata baik bagi
individu maupun kelompok.[17]
- 3. Materi Tafsir
Sebagai materi pelajaran pokok di
madrasah-madrasah, baik Tsanawiyah maupun Aliyah, materi tafsir yang bersifat
dasariah juga di ajarkan untuk madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Nadlatul
Wathan.Materi tafsir ini dalam kurikulum pemerintah (Departemen Agama) dikenal
atau disebut materi al-Qur’an, digabung dalam satu paket dengan materi hadits
menjadi pelajaran al-Qur’an-hadits.
- 4. Materi al-Hadits
Sebagaimana materi pelajaran lainnya,materi
pelajaran al-hadits ini dalam kurikulum Departemen Agama yang diterapkan di
madrasah Tsanawiyah dan Aliah, termasuk di madrasah-madrasah Nahdltul
wathan,juga terdiri dari buku I, II dan III. Umumnya materi al-Hadits terebut
dipaket dalam satu buku dengan pelajaran al-Qur’an atau tafsir, namun
masing-masing tetap terpisah dalam pembahasannya.
- 5. Materi Pendidikan Fiqh
Materi pendidikan fiqh berdasarkan kepada
kurikulum Departmen Agama atau pemerintah yang diberikan kepada siswa-siswi
baik untuk tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah, masing-masing terdiri dari buku I,
II dan III.
- 6. Bahasa Arab (Nahwu-Sharaf)
Materi pedidikan bahasa Arab, kurikulum
Departemen Agama yang didalamnya juga dijelaskan segi-segi tata bahasa
secukupnya seperti Nahwu dan atau Sharf adalah terbagi dari buku I, II dan III.
Masing-masing buku itu berlaku untuk kelas I, II dan III baik untuk madrsah
Tsanawiyah maupun Aliyah.
- 7. Materi ke-NW-an
Suatu hal yang juga perlu diketahui bahwa ciri
khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan hingga sekarang ini, disamping
mempergunakan kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan
Nasional), juga diberikan materi pendidikan ke-NW-an. Materi ke-NW-an merupakan
materi pendidikan wajib yang harus ditempuh oleh setiap peserta didik pada
setiap tahun pertama masuk untuk kelas 1 Tsanawiyah, Aliyah, SMP, SMA dan
lainnya yang dikelolah Nahdlatul Wathan. Maksud diberikannya kembali materi
ke-NW-an ditahun pertama tingkat SMA adalah disamping untuk penyegaran kembali
materi ke-NW-a tersebut bagi mereka yang sudah menempuhnya pada tahun pertama
ditingkat SMP, karena adanya tambahan-tambahan materi tertentu. Selain itu
dimaksudkan untuk memberikan pembekaan kepada meraka yang kebetulan waktu SMP
tidak berlatar belakang Nahdlatul Wathan. Alokasi waktu yang disediakan untuk
materi ke-NW-an ini sebanyak 48 jam pelajaran dalam setahun. Setiap minggunya
disediakan satu jam pelajaran.[18]
1). Metode umum praktek pendidikan
pengajaran mengarah kepada :
- Persiapan
- Membaca Do’a (Do’a Pembuka)
- Apersepsi
- Membangkitkan Minat dan Semangat Belajar Peserta Didik
- Cara yang ditempuh dalam pengajaran
- Bentuk penyajian
- Bahasa pengantar
- Sikap dan gaya mengajar
- Wali kelas dan pembagian fak mengajar
- Penggunaan alat-alat peraga
- Cara mengatasi perbedaan individual
- Evaluasi
- Ganjaran dan hukuman
- Kompetisi / perlombaan
- Do’a penutup
- Pemberian penghormatan
2). Metode Khusus
- Al-Qur’an / Tafsir
- Al-Hadits
- Tauhid / Aqidah
- Akhlaq
- Tarikh / Sejarah Islam
- Fiqh / Ushul Fiqh
- Bahasa Arab
- Belajar Membaca Aksara Arab
- i. Belajar Menulis Aksara Arab, Khat dan Imla’
- E. SARANA DAN PROSES PENDIDIKAN NAHDLATUL WATHAN
- A. Kurikulum
Setiap kegiatan ilmiah memerlukan suatu
perencanaan. Kegiatan ilmiah tersebut harus dilaksanakan secara sistematis dan
terstruktur. Pendidikan sebagai kegiatan ilmiah memerlukan adanya program yang
memadai dan dapat mengantarkan proses pendidikan sampai pada tujuan yang
diinginkan program yang demikian pendidikan lebih dikenal dengan istilah
kurikulum pendidikan.[19]
Pada uraian terdahulu telah disebutkan, bahwa
salah satu diantara komponen pendidikan adalah kurikulum. Komponen ini dianggap
penting karena ia merupakan penjabaran dari idealisme, cita-cita, tuntutan
masyarakat, atau kebutuhan tertentu. Ia juga merupakan cerminan dari tujuan
yang diinginkan pendidikan, bahkan tujuan tidak akan tercapai dengan baik tanpa
keterlibatan kurikulum, sedangkan pendidikan tanpa tujuan dapat mengaburkan
arah pendidikan menjadi tidak jelas. Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai
kurikulum yang dimaksudkan lebih dititikberatkan pada pemikiran-pemikiran dasar
kurikulum pendidikan Nahdlatul Wathan dalam kaitannya sebagai lembaga
pendidikan Islam.
Sebagai komponen pendidikan, kurikulum tumbuh
dalam coraknya masing-masing yang dapat dibedakan menjadi empat pola, yaitu : separate
subject curriculum, correlated curriculum, integrated curriculum, dan core
curriculum.[20]
Pertama, Separate subject curriculum. Kurikulum
ini menyajikan sejumlah mata pelajaran secara terpisah tanpa berusaha mencari
persinggungan di antara berbagai mata pelajaran tersebut. Pola kurikulum inilah
yang paling tua dan hingga sekarang paling dominan digunakan.[21] Hal ini
tampaknya didukung oleh faktor kemudahan dalam penyajian bahan pelajaran dan
evaluasinya, karena dapat disusun dengan cara yang lebih sistematis sesuai
dengan kekhususan disiplin ilmunya masing-masnig.
Kedua, Correlated curriculum. Kurikulum
ini dinamakan demikian karena mata pelajaran yang disajikannya tidak terpisah
lagi, dikelompokkan, dikorelasikan atau dipadukan tanpa menghilangkan esensi
dari masing-masing mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran yang memiliki
kesamaan, kedekatan atau hubungan dijadikan satu bidang studi. Mata pelajaran
yang berkenaan dengan aljabar, geometri atau ilmu ukur, arithmatika misalnya,
digabung menjadi satu yang disebut bidang studi Matematika. begitu juga bidang
studi IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), Agama, Bahasa
dan lain-lain. Walaupun pola ini tampak berbeda dengan yang pertama akan tetapi
masih mengacu pada satu pola, yaitu lebih terpusat pada penguasaan mata
pelajaran atau disiplin ilmu.[22]
Pola
kurikulum seperti ini lebih sederhana dan relatif lebih mudah disesuaikan
dengan perubahan karena dapat dipersempit dan diperluas hanya dengn menambah
atau mengurangi jumlah mata pelajaran sesuai kebuthan.
Ketiga, Integrated curriculum. Kurikuum
ini tidak mengarah kepada penguasaan mata pelajaran akan lebih bertumpu pada
pemecahan masalah dengan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang
dipandang fungsional untuk memecahkan masalah tersebut. Kurikulum ini
dikembangkan atas dasar perlunya memusatkan perhatian terhadap pemecahan suatu
masalah dengan tetap berpegang pada berbagai mata pelajaran atau
disiplin-disiplin ilmu yang digunakan. Dengan berbagai mata pelajaran yang
disajikan oleh kurikulum ini diharapkan terwujudnya kepribadian peserta didik
yang integrated.[23]
Dengan
demikian hal terpenting dalam kurikulum ini bukan hanya polanya akan tetapi
tujuan yang ingin dicapai, Hanya saja, bila diperhatikan dengan cermat,
karena perhatiannya lebih terpusat pada kemampuan pemecahan masalah
daripada hanya sekedar menguasai mata pelajaran, menyebabkan penerapan pola
kurikulum semacam ini secara penuh akan mengalami hambatan ketika berhadapan
dengn urgensi ujian akhir atau ujian masuk ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi yang pada umumnya, khususnya di Indonesia, ukuran kelulusannya masih
didasarkan pada penguasaan mata pelajaran.
Keempat, Core curriculum. Kurikulum ini
pada dasarnya adalah merupakan bagian dari seluruh program pendidikan yang
dianggap esensial dan inti yang harus diberikan kepada setiap murid atau
peserta didik, untuk dipahami secara baik dan benar pada setiap tingkatan dan
jenis sekolah agar dia menjadi pribadi dan warga yang baik, bermartabat dan
berguna.[24] Ciri
kurikulum ini, secara umum, terletak pada pengintegrasian program pendidikan
umum ke berbagai disiplin ilmu lainnya secara interdisipliner dengan tetap
mengakui adanya batas-batas mata pelajaran sesuai dengan kekhususan disiplin
ilmunya masing-masing.[25]
Tampak bahwa kurikulum inti ini agak mirip dengan
pola ketiga di atas yaitu kurikulum terpadu. Hanya saja kurikulum inti masih
menekankan adanya bahan pelajaran tertentu yang menempati posisi inti atau
strategis yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk semua jenis sekolah dan
tingkatan guna mencapai tujuan tertentu. Mata pelajaran yang dipandang inti
itulah yang mendapat prioritas untuk difungsikan dengan mata pelajaran lainnya
secara interdisipliner guna mencapai tujuan dimaksud, terutama dalam memecahkan
berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan.
Dengan memperhatikan pola-pola kurikulum
sebagaimana dikemukakan diatas kemudian menengok kepada kurikulum Islam
berdasarkan susunan mata pelajarannya selama ini, maka kurikulum Nahdlatul
Wathan dapat dikelompokkan kedalam pola kurikulum inti, karena di dalamnya
terdapat mata pelajaran atau pengetahuan inti yang harus ditempuh dan
dipelajari oleh setiap peserta didik pada setiap jenjang dan jenis sekolah. Hal
ini tampak sejalan dengan salah satu klasifikasi ilmu berdasarkan tingkat
kewajiban mempelajarinya, yang oleh al-Ghazali diklasifikasikan kedalam fardlu
‘ain dan fardlu kifayah.
Al-Ghazali memandang, bahwa adanya ilmu yang fardlu
‘ain untuk dipelajari, erat kaitannya dengan kewajiban setiap pribadi dan
individu (muslim) untuk mengetahui dan mengamalkan ajaran Islam. Ilmu-ilmu
tersebut meliputi syari’ah dengan segala cabang-cabangnya seperti rukun Islam,
halal, haram dan lain-lain sebagaimana tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sedangkan yang fardlu kifayah adalah lmu-ilmu yang bermanfaat untuk
kepentingan hidup manusia dan masyarakat, seperti ilmu hitung, kedokteran,
teknik, pertanian, industri dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan
tuntunan agama.[26]
Pandangan demikian tidak mengandung makna
pemilihan yang bersifat taksonomi, melainkan pengklasifikasiannya dilihat dari
segi urgensinya bagi kepentingan manusia. Ia masih dalam kerangka unity
yang sesuai dengan pandangan al-Qur’an. Pengaruh al-Qur’an tampak jelas dalam
ia memandang ilmu sebagai bagian dari aktifitas pendidikan insani. “karena
al-Qur’an menyatukan (menganut system unity) diantara material dan
spiritual, ilmu dan agama, ilmu dan amal, antara agama dan Negara, manusia dan
realitas”.[27]
Belakangan ini klasifikasi serupa dikukuhkan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia memandang bahwa ilmu-ilmu fardlu ‘ain
merupakan ilmu yang dinisbahkan yang diperoleh melalui wahyu al-Qur’an dan
al-Sunnah, syari’ah, tauhid, berikut cabang-cabangnya serta keteladanan yang
dicontohkan oleh para ulama terdahulu yang dianggap sebagai prasyarat untk
mengetahui dan mengamalakannya. Sementara fardlu kifayah ialah segala
macam ilmu yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian yang
dapat dijangkau oleh akal dan dipandang berguna untuk melayani kebutuhan
praktis kehidupan manusia dan masyarakat.[28]
Dengan memperhatikan klasifikasi ilmu sebagaimana
dikemukakan di atas, maka tampak dengan jelas bahwa pada semua jenjang dan
jenis pendidikan islam, ilmu yang fardlu ’ain itu merupakan inti dari
muatan atau isi kurikulumnya. Dalam hal ini semua peserta didik tanpa kecuali
harus mempelajarinya dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh al-Ghozali di
atas. Sementara ilmu yang fardlu kifayah merupakan pelengkap bagi isi
kurikulum yang inti. Peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah
sesuai dengan minat, tuntutan, kepentingan dan kebutuhan yang ada.
Konferensi pendidikan islam se-dunia yang
diadakan di makkah tahun 1977, tampaknya juga dalam rekomendasinya telah
menunjukan identitas kurikulum pendidikan islam berpolakan kurikulum inti.
Ilmu-ilmu fardlu ‘ain disebutnya sebagai pengetahuan abadi (perennial
knowledge) dan ilmu-ilmu fardlu kifayah diistilahkannya dengan pengetahuan
perolehan (acquired knowledge) yang menurutnya adalah dua kelompok
disiplin ilmu yang harus disajikan secara integratif.[29]
Penempatan perennial knowledge, yakni
al-Qur’an dan al-Sunnah serta ilmu-ilmu yang diturunkan dari keduanya sebagai
pengetahuan utama, itulah yang harus dipelajari oleh setiap peserta didik tanpa
kecuali terutama tentang syari’ah, dengan tidak mengabaikan acquired
knowledge dan tetap memberikan ruh perennial knowledge terhadapnya,
namun tidak mengharuskan setiap peserta didik mempelajarinya. Artinya , cukup
ada yang mewakili sesuai dengan kebutuhan, adalah mengarah kepada core
curriculum. Istilah perennial knowledge dalam rekomendasi
tersebut adalah sama dengan ilmu yang fardlu ‘ain sedangkan acquired
knowledge adalah sama dengan ilmu yang fardlu kifayah dalam
pandangan al-Ghazali. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kurikulum
pendidikan Islam dapat dikelompokkan ke dalam kurikulum inti (core
curriculum).
Berkenaan dengan hal-hal yang dikemukakan di
atas, Nahdlatul Wathan sebagai salah satu organisasi Islam di tanah air yang
ikut mengambil bagian dalam menangani persoalan pendidikan, khususnya di
Lombok, segera menyadari langkah-langkah penting yang perlu diambil dan
sarana-sarana yang perlu dipersiapkan dalam memberdayakan pendidikan masa depan
yang menjadi fokus utama perhatiannya. Pada penjelasan yang lalu telah
dikemukaka, bahwa salah satu faktor pendorong lahirnya madrasah NWDI dan NBDI,
yang menjadi cikal bakal Nahdlatul Wathan, adalah bermula keprihatinan Tuan
Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengenai pendidikan di Lombok sangat
terbelakang dan diprediksikan tidak akan membawa hasil sesuai dengan
kebutuhan masyarakat ke depan. Corak pendidikan pada saat itu, khususnya di
daerah Lombok, masih sngat sederhana. Para murid atau santri belajar secara
kolektif di depan gurunya dengan model sorogan dan nyaris tanpa program
pengajaran yang teratur dan terencana. Mata pelajaran yang diajarkannyapun
beragam,mulai dari masalah aqidah, fiqh, dan akhlaq dengan segala
kesederhanaannya. Sebagian diantara mereka ada yang menggunakan kitab-kitab
berbahasa Arab dan sebagian yang lain menggunakan kitab-kitab melayu yang
bertuliskan aksara Arab namun dibaca menurut bahasa Melayu.
Munculnya madrasah NWDI dan NBDI yang berasal
dari pesantren al-Mujahiddin, dengan sistem klasikal menampilkan materi
pelajaran yang lebih sistematis, terprogram dan terukur merupakan hal baru bagi
masyarakat Lombok dalm sistem pembelajaran kala itu, sehingga lembaga
pendidikan ini dapat diklaimkan sebagai pembawa semangat pencerahan dalam
sistem pendidikan Islam di daerah tersebut. Dan dengan demikian, juga dapat
dikatakan bahwa sistem pendidikan yang ditawarkan Tuan Guru Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, melalui madrasanya itu, adalah mengacu kepada sistem
pendidikan terprogram melalui kajian kurikulum walau pada masa-msa awalnya
masih dalam bentuk yang sederhana, yang dari masa kemasa terus mengalami
perkembangan sesuai dengan tuntutan perubahan dan kebutuhan zaman, termasuk
perubahan dan perkembangan jenis dan tipe madarasah atau sekolah yang dikelolanya.
Dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Nahdlatul Wathan,
pemberlakuan kurikulum dalam sejarah perjalanannya dapat dibagi menjadi
tiga fase: pertama; sejak tahun 1937 sampai dengan tahun 1950. Pada fase
ini Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah menggunakan kurikulum yang dirancang
oleh Tuan Guru Haji Muahammad Zainuddin Abdul Madjid dibantu oleh para dewan
guru yang mengajar diinstansi tersebut pada saat itu. Kurikulum yang digunakan
itu mengacu pada pola kurikulum madrasah di Mekkah, terutama madrasah
Shoulatiah, yaitu madrasah di mana Tuan Guru Haji Muhammad Abdul Madjid
menyelesaikan studinya. Kurikulum tersebut memuat Sembilan puluh lima persen
pelajaran keagamaan baik untuk tingkat Ilzamiyah (pra kelas) selama satu
tahun, Tahdliriyah selama tiga tahun, dan Ibtidaiyah empat tahun.
Kedua, sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 1953. Fase ini merupakan
fase peralihan selama lebih kurang tiga tahun, di mana pengetahuan umum pada
saat itu ditambahkan ke dalam kurikulum madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah, sehingga mencapai dua puluh lima persen. Di antara mata pelajaran
pengetahuan umum yang dimaksud, adalah ekonomi, Sejarah Indonesia, Sejarah
Dunia, Bahasa Inggris, Kesenian, Tari-tarian dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Ketiga, fase setelah resminya Nahdlatul Wathan sebagai organisasi
pendidikan, dakwah dan sosial dari 1953 sampai dengan sekarang. Pada fase yang
disebutkan terakhir ini, perubahan kurikulum pendidikan di lingkungan Nahdlatul
Wathan dilakukan secara besar-besaran pada semua jenjang dan jenis pendidikan,
untuk disesuaikan dengan kurikulum pemerintah. Madrasah-madrasah dan perguruan
tinggi agama ,menyesuaikan diri dengan kurikulum yang dipolakan Departemen
Agama (Kementerian Agama). Sedangkan sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi
umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan[30]
(sekarang Kementerian Pendidikan Nasional). Kecuali itu, perguruan atau
pendidikan yang merupakan proyek khusus Nahdlatul wathan tetap mempergunakan
kurikulum tersendiri hingga sekarang dengan perbandingan Sembilan puluh persen
pengetahuan Agama dan sepuluh persen pengetahuan Umum. Perguruan khusus yang
dimaksud adalah ma’had Dar al-Qur’an wa al-Hadits al-Majidiyah al-syafi’iyah
dan Ma’ahadah li al-Banat. Program pedidikan khusus ini bertujuan untuk
membina kader ulama dan muballig sebagai tenaga siap pakai. Karena itu
diperlukan penambahan pengetahuan khusus untuk dapat mengabdi langsung
ditengah-tengah masyarakat. [31]
Di atas telah dikemukakan, bahwa pada masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan NWDI yang disebut dengan fase awal yaitu antara tahun
1937 sampai dengan 1950 kurikulum yang diterapkan diinstitusi tersebut adalah
mengacu kepada kurikulum Madrasah al-Shoulatiah Makkah yang disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Lombok pada saat itu, sebagaimana dikemukakan oleh seorang
tokoh Nahdlatul Wathan, Ustadz H.M. Nasihuddin Badri dalam pernyataanya sebagai
berikut :
Kurikulum yang digunakan Nahdlatul Wathan untuk pertama kalinya di
madrasah NWDI maupun NBDI adalah mengacu kepada kurikulum madrasah Shoulatiah
di Makkah al-Mukarromah, tempat Maulanasysyaikh menyelesaikan studinya,
yaitu Sembilan puluh lima persen pelajaran Agama ditambah dengan pelajaran
Imlak huruf latin dan pelajaran menulis indah untuk tingkat Ilzamiyah
serta pelajaran bahasa Melayu khusus untuk tingkat Tahdliriyah. Akan
tetapi kurikulum itu tidak diadopsi begitu saja, namun disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Sasak di Lombok pada saat itu. Materi pelajaran
disesuaikan dengan kemampuan murid-murid yang belajar dikala itu pada setiap
jenjang, baik Ilzamiyah, Tahdliriyah maupun Ibtidaiyah. Nahdlatul
Wathan berangkat dari prinsip “khatihib al-nas ‘ala qadri ‘uqulihim”.
Artinya, bahwa kemampuan psikologis dalam menerima isi kurikulum itu harus
disesuaikan dengan usia, kemampuan dan lingkungan hidup para siswanya.[32]
- F. P E N U T U P
- 1. Kesimpulan
Makna pendidikan menurut Nahdlatul Wathan
mengarah kepada proses membimbing dan membina potensi peserta didik dengan cara
yang baik, terencana, dan terprogram agar berkembang ke tingkat yang lebih
baik, sehingga dapat dihasilkan lulusan yang mampu mengembangkan diri keluarga
dan masyarakat untuk mengantisipasi kebutuhan masa depan dengan menjadikan iman
dan taqwa sebagai landasan utamanya. Sedangkan fungsi pendidikan adalah sebagai
wahana transfer nilai-nilai, baik nilai-nilai illahiyah maupun insaniyah, dan
wahana transfer ilmu pengetahuan, dalam arti pembinaan dan pengembangan
intelektual, kreatifitas, dan keahlian.
Bagi Nahdlatul Wathan tujuan pendidikan dibagi
menjadi dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk memberantas buta
agama, buta huruf, buta ilmu dan mewujudkan akhlakul karimah bagi peserta
didik. Tahap Kedua bertujuan mewujudkan manusia-manusia yang
berilmu pengetahuan luas dan maju dalam berpikir untuk menghadapi masa depan
dan perkembangan zaman agar dapat beramal shaleh. Iman, ilmu dan amal merupakan
tujuan antara, sedangkan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Dengan demikian, tujuan akhir merupakan puncak dari kualitas direktif
dan prediktif pendidikan.
Nilai pendidikan Nahdlatul Wathan mencakup nilai
dasar, yaitu iman dan taqwa. Posisi strategis iman dan taqwa sebagai nilai
dasar pendidikan, menurut Nahdlatul Wathan mengandaikan adanya nilai
operasionalnya, yaitu yaqin, ikhlas dan istiqamah. Sementara materi pendidikan
menurut Nahdlatul Wathan merupakan inti dari pelaksanaan pendidikan karena ikut
menentukan kemana peserta didik hendak dibawa dan diarahkan. Karena itu untuk
menyesuaikan diri dan mengantisipasi tuntutan kebutuhan masyarakat, Nahdlatul
Wathan menempuh dua jalur : Pertama memberlakukan materi
Kurikulum Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia dan
Kementerian Pendidikan Nasional RI., dan Kedua Kurikulum yang
diterapkan oleh Nahdlatul Wathan sendiri.
Metode menurut Nahdlatul Wathan, merupakan jalan
atau cara yang digunakan untuk memahamai materi pendidikan, baik umum maupun
khusus. Dan Nahdlatul Wathan menempatkan Kurikulum sebagai sarana untuk
mewujudkan cita-cita pendidikan. Dalam sejarahnya perjalanan pendidikannya,
pemberlakuan Kurikulum dibagi menjadi tiga fase : Pertama Kurikulum
Tahun 1937 sampai Tahun 1950; Kedua Kurikulum Tahun 1950 sampai
Tahun 1953; dan Ketiga Kurikulum Tahun 1953 hingga sekarang.
Proses pendidikan dan keberhasilan dalam tataran
praksisnya, menurut Nahdlatul Wathan, ditentukan oleh tiga faktor : Pertama
keberhasilan yang dicapai melalui daya dorong pendidik disertai dengan
inisiatif dan kesadaran peserta didik. Kedua untuk pendidikan
tinggi hasil dari proses pendidikan lebih banyak ditentukan oleh kesadaran dan
inisiatif peserta didik. Ketiga Faktor Nilai.
Faktor pendukung perkembangan dan
keberhasilan pendidikan Nahdlatul Wathan adalah terletak pada kemampuannya
mengkomunikasikan dunia pendidikan dengan masyarakat melalui kegiatan dakwah
dengan membentuk majlis dakwah dan majlis ta’lim. Selain itu juga didukung oleh
aktivitas sosialnya dengan didirikannya panti asuhan yang tersebar di seluruh
pulau Lombok yang diikuti oleh pendirian Madrasah. Aktivitas dibidang kesehatan
serta kerjasama dengan pihak-pihak terkait, tidak terkecuali pihak pemerintah,
juga turut serta mendukung eksisnya pendidikan Nahdlatul Wathan hingga
sekarang.
Sedangkan potensi penghambat adalah kurang
memadainya tenaga pendidik yang dibutuhkan, yang mengajarkan bidang studi,
khususnya bidang ilmu pengetahuan umum, oleh karenanya Nahdlatul Wathan
berupaya mengirimkan beberapa alumninya ke beberapa Perguruan Tinggi Umum
Negeri untuk memperdalam ilmu pengetahuan umum yang dibutuhkan.
- 2. Saran-saran
- Dalam rangka meningkatkan makna dan fungsi pendidikan, termasuk pendidikan Islam perlu sedapat mungkin diperhatikan dan dikembangkan kualitas agar peserta didik yang dihasilkan bias fungsional serta dapat terwujud ketentraman dan kesejahteraan bagi dirinya dan masyarakat.
- Bagi Nahdlatul Wathan, dalam rangka lebih meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui pendidikan, khususnya bagi masyarakat Lombok, kini dan ke depan perlu membuka diri dan mengintensifkan kerjasama dengan dunia pendidikan di luar dirinya, sehingga terjadi dinamika pendidikan kea rah kemajuan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
- Memperhatikan peran Nahdlatul Wathan dalam ikut serta mencerdaskan anak bangsa, khususnya di Lombok, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian dan meningkatkan dukungan terhadap organisasi ini baik dalam bentuk sarana dan prasarana, finansial maupun ketenagaan yang dapat menunjang pelaksanaan dan kelancaran serta kesuksesan program pendidikannya.
- Makalah ini masih merupakan dari pengungkapan kecil dari Nahdlatul Wathan. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan masih banyak pemikiran-pemikiran baru yang bias mengisi dan melengkapi kekurangan dalam upaya turut berpartisipasi memberikan andil dan sumbangsih terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum,
Surabaya : Bina Ilmu, 1996.
Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela
Pemerintah, Yogyakarta, LKiS, 2000, h. 133.
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1999), hlm. 75.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran
al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, alih bahasa Herry Noer Ali,
Bandung: Diponegoro, 1986.
http://bataviase.co.id/node/310746/
Oleh Syahruddin El-Fikri
http://bataviase.co.id/node/310746/
Oleh Syahruddin El-Fikri
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta : Bumi Aksara, 2000.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta : Hidakarya Karya Agung, t.th.
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum di Sekolah, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1996.
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta
: Bumi Aksara, 1999.
Shihabul Ahyan, Biografi Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Usman, Filsafat Pendidikan Kajian Filosofi
Pendidikan Nahdlatul Wathan di Lombok, Yogyakarta : Teras, 2010.
Visi Kebangsaan Religius, Bab I Potret Keluarga
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
[1] Isma’il
Raji’ al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, alih bahasa Anas Mahyuddin
(Bandung:Pustaka,1984),h.12
[2] NWDI
adalah lembaga pendidikan khusus untuk pria yang diresmikan berdirinya di
Pancor, Lombok Timur oleh TGH. M. Zainuddin AM. Pada tanggal 22 Agustus 1937
dengan dukungan beberapa Tuan Guru di lingkungannya sendiri dan dibantu oleh
Masyarakat sendiri.
[3] Lihat
Nazham Batu Ngompal Tarjamah Tuhfat al-Athfal (Jakarta : al-Abrar, 1994), h.
22.
[5] http://bataviase.co.id/node/310746/ Oleh
Syahruddin El-Fikri
[7] http://bataviase.co.id/node/310746/ Oleh
Syahruddin El-Fikri
[8] Lihat
Abdul Kabir, Karakteristik Gerakan Pembaharuan dan pemikiran TGKH, Jurnal
Fikrah, No. 1, Vol. 1, Edisi 1, Juli-Desember 2006, h. 78.
[9]
Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta, LKiS, 2000, h.
133.
[10]
Mohammad Noor, et.al., Visi
Kebangsaan, hlm. 245.
[11]
Abdul Hayyi, Maulanasysyaikh, hlm. 76-77.
[12] Ibid,
hlm. 76-77. Lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Karya Agung, t.th.), hlm. 341
[13]
Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan khusus (takhashshush). Berbeda dengan
lembaga pendidikan lainnya dilingkungan Nahdlatul Wathan secara institusional
lembaga ini mengkhususkan diri pada kajian-kajian khazanah klasik yang mengacu
kepada kurikulum Madrasah al-Shaulatiyah di Makkah. TGH. Muhammad Zainudin
Abdul Majid hingga tutup usia tetap memberikan pelajaran pada lembaga ini. Begitu
juga terhadap ma’hadah ai albanat (untuk wanita) yang dibangun belakangan. Tuan
Guru dalam hal ini dibantu oleh guru-guru yang berasal dari alumni timur
tengah. Kekhususan lainnya dari lembaga tersebut adalah dapat dilihat pada
pakaian para santri yang mirip dengan santri-santri lain pada pondok pesantren
salaf Indonesia. Lihat majalah Sinar Lima (Jakarta: perwakilan NW Jakarta,
1995), Nomor 2. Hlm. 5-6.
[14] Ibid.
[15]
Hasil observasi dan wawancara dengan ustad Muhidin, staff pengajar Madrasah
Aliyahputri NW Pancor. wawancara pada hari Senin 6 Februari 2006 di Pancor
Lombok Timur.
[16]
Khalimi, et.al., Pendidikan Aqidah Akhlak
untuk Madrasah Aliyah Kelas II (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2006), hlm.
19.
[17] Lihat
Muhammad Bishar, al- Aqidah wa al-Akhlaq wa Atsaruhuma fi Hayati
al-Fardi wa al- Mujtama’(Beirut: Dar al-Kitab al-Libnani, 1973), hlm. 255.
[18] Hasil
wawancara dengan TGH. Muhammad Ichsan, kepala sekolah Aliyah putri NW Anjani.
Wawancara pada hari Rabu 8 Februari 2006 di Anjani Lombok Timur.
[19] Secara
harfiyah kata kurikulum adalah berasal dari bahasa latin yaitu “a little
rececource” yang berarti “suatu jarak yang ditempuh dalam pertandingan olah
raga “. Kemudian dialihkan maknanya kedalam pendidikan menjadi “circle of
instruction” yaitu “suatu lingkaran pengajaran” dimana guru dan murid
terlibat didalamnya. Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan rancanganpengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang
disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan
suatu program pendidikan tertentu. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa
kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan
yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan. Lihat Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000), hlm. 85. Bandingkan dengan Herman H. Horne, An
Idealistic Philosophy of Education (Chicago: University of Chicago Press,
1962), hlm. 158. Lihat juga Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1999), hlm. 75.
[20] S.
Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 176.
[21] Ibid.,
hlm. 177. Lihat juga Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum dan Praktek,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 114.
[22] Ibid.,
hlm. 194.
[23] Ibid.,
hlm. 196.
[24] Ibid.,
hlm. 222. Lihat juga Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), hlm. 66.
[25] Nana
Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan., hlm. 67. Bandingkan dengan A.
Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hlm.
64.
[26] M.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 88.
Lihat juga Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai
Pendidikan dan Ilmu, alih bahasa Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro,
1986), hlm 36.
[27] ‘Ali
Khalil Abu al-‘Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim
(Qohirah: Dar al_Fikr al-‘Araby, 1980), hlm. 297.
[28] Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, alih bahasa Karsidjo
Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 216-217.
[29] First
world conference on Muslim Education: Recommendaction (Jakarta:
Interislamic University of Indonesia, 1977), hlm. 4.
[30]
Lihat mahasiswa tingkat doktoral, “Sistem Pendidikan Agama Islam Nahdlatul
Wathan dan Pengaruhnya terhadap Perikehidupan Agama Islam di Masyarakat
Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat”, penelitian (Mala: Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1968), hlm. 59. Lihat juga Abdul Hayyi Nu’man,
Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Riwayat Hidup dan
Perjuangannya, (Mataram: Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, 1999), hlm. 37.
[31]
Abdul Hayyi Nu’man, Maulanasysyaikh., hlm.37-38.
[32]
Hasil wawancara dengan Ustadz H. M. Nasihuddin Badri, Wakil Sekjend I PBNW. Wawancara
pada hari Kamis 9 Februari 2006 di Kelayu Lombok Timur.
Sumber: HidayatullahBlog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar